Reporter: Indra Khairuman | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kemampuan Indonesia dalam membayar utang saat ini dinilai masih dalam kondisi aman. Namun, meningkatnya tantangan global seperti perang tarif dan ketidakpastian ekonomi tetap membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa kemampuan Indonesia membayar utang cukup terjaga. Meski demikian, ia menekankan pentingnya peningkatan kewaspadaan.
"Risiko pembiayaan global memang naik tajam akibat tekanan dari perang tarif, suku bunga global yang tinggi, dan ketidakpastian geopolitik," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Senin (28/4).
Baca Juga: Kemampuan Bayar Utang Indonesia Rentan
Ia menambahkan, posisi fiskal dan eksternal Indonesia relatif lebih kuat dibandingkan banyak negara emerging markets lainnya.
Beberapa indikator yang mendukung posisi Indonesia di antaranya adalah rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih terkendali di kisaran 39%–40%.
Selain itu, Josua menyebutkan faktor lain yang memperkuat posisi Indonesia, yaitu "Pengelolaan utang yang hati-hati dengan tenor panjang dan dominasi utang dalam negeri, serta cadangan devisa yang masih cukup kuat," jelasnya.
Meski demikian, Josua mengingatkan akan potensi tekanan dari pelemahan ekspor akibat fragmentasi perdagangan global dan perang tarif. Ia juga menyoroti tantangan lain, yakni meningkatnya biaya utang.
"Biaya utang yang meningkat karena spread obligasi negara berkembang melebar seiring naiknya premi risiko global," kata Josua.
Ia menambahkan bahwa porsi utang valuta asing (valas) Indonesia yang masih signifikan membuat stabilitas eksternal rentan terhadap volatilitas nilai tukar. Oleh karena itu, ketahanan Indonesia tetap sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dalam menjaga disiplin fiskal dan stabilitas eksternal.
Baca Juga: Pemerintah Dinilai Masih Mampu Bayar Utang yang Jatuh Tempo Tahun Depan
Untuk meningkatkan ketahanan dalam pembayaran utang, Josua menyarankan beberapa langkah yang perlu ditempuh pemerintah.
Pertama, pemerintah perlu mengedepankan prinsip credible medium-term fiscal framework dengan mengelola defisit dan rasio utang dalam batas aman.
"Menjaga defisit di bawah 3% dari PDB atau mengelola kenaikan defisit secara terukur jika memang dibutuhkan untuk stimulus ekonomi," tegasnya.
Kedua, peningkatan rasio pajak menjadi krusial agar pemerintah tidak terlalu bergantung pada utang untuk membiayai program-program prioritas. Josua mendorong reformasi perpajakan melalui perluasan basis pajak, peningkatan tingkat kepatuhan, serta digitalisasi sistem perpajakan.
Ketiga, penerbitan utang dalam mata uang rupiah perlu diprioritaskan dengan memperluas basis investor domestik dan memperdalam pasar keuangan lokal, sehingga ketergantungan terhadap utang valas jangka pendek dapat dikurangi.
Baca Juga: Masih Terkendali, ADB Menilai Pemerintah RI Masih Mampu Bayar Utang
Keempat, kecukupan cadangan devisa harus tetap dijaga sebagai perisai utama terhadap potensi pembalikan arus modal di tengah krisis global. "Menjaga surplus neraca transaksi berjalan dan memperbaiki penerimaan devisa ekspor," tambah Josua.
Kelima, strategi jangka menengah perlu difokuskan untuk mendorong produktivitas, investasi berorientasi ekspor, dan hilirisasi industri. Hal ini bertujuan untuk memperbesar kapasitas ekonomi, memperkuat basis penerimaan negara, serta menstabilkan rasio utang terhadap PDB.
Meskipun situasi Indonesia saat ini relatif aman, Josua menekankan bahwa kewaspadaan dan langkah-langkah proaktif tetap diperlukan untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Selanjutnya: Penambahan Kekayaan Danantara Jadi US$ 1 Triliun Diprediksi Butuh Waktu Lama
Menarik Dibaca: CLEO Genjot Daur Ulang Sampah Plastik Melalui Program Cleo Ecobin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News