Reporter: Epung Saepudin | Editor: Dikky Setiawan
Jakarta. Samsul Nursalim rupanya masih ada tunggakan besar kepada pemerintah terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada 1997 silam. Meski sudah menerima Surat Keterangan Lunas (SKL), rupanya pihak Kejaksaan Agung menilai Samsul Nursalim telah melakukan wanprestasi.
Akibatnya, kejaksaan agung berencana untuk menarik kembali sisa aset yang dimilikinya senilai 4,7 Triliun. Hal tersebut dikatakan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata Edwin P Situmorang, Jumat (4/9).
Edwin menuturkan, pada 1997 Bank Indonesia mengucurkan kredit kepada PT BDNI sebesar Rp.37.039 Triliun dan sebagai pemegang saham pengendali PT BDNI adalah Syamsul Nursalim.
Pada 20 Agustus 1998, PT BDNI Tbk dinyatakan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) berdasarkan Keputusan BPPN No 43/BPPN/1998 tentang pembekuan PT BDNI Tbk dalam rangka program penyehatan perbankan nasional. Langkah BBO itu dilakukan karena PT BDNI tidak dapat melakukan kewajibannya dalam pengembalian kredit.
Edwin menjelaskan, jumlah kewajiban pemegang saham berdasarkan neraca penutupan PT BDNI tertanggal 20 Agustus 1998 mencapai Rp 47.285 triliun. Sedangkan jumlah total aset bersih adalah Rp 18.850 triliun, sehingga jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) adalah Rp 47,285 triliun dikurangi 18,85 triliun menjadi Rp 28.408 triliun.
Menurut Edwin, memang dalam JKPS senilai Rp 28,408 tersebut selanjutnya dibayarkan secara tunai sejumlah 1 trilium dan sisa JKPS sejumlah Rp 27,408 triliun dibayar dengan menyerahkan asset saham akuisisi, sesuai ketentuan pasal 2.1 jo pasal 2.4 a tentang MSAA.
Hanya saja, dari perhitungan oleh Lehman Brother pada tahun 1998, ternyata bahwa jumlah nilai saham perusahaan akuisisi yang diserahkan oleh Syamsul Nursalim adalah sebesar Rp 22,56 triliun.
Sedangkan menurut perhitungan ulang yang dilakukan oleh Ernst & Young pada 2003, nilai aham perusahaan akuisisi yang diserahkan oleh Syamsul Nursalim melalui PT Tunas Sepadan Investama (TSI) yang merupakan holding company dari PT Gajah Tunggal Petrochem Industries, PT Gajah Tunggal dan PT Dipasena Citra Darmanja kepada BPPN adalah sebesar Rp 22,65 triliun.
Edwin menilai berkurangnya nilai saham perusahaan akuisisi yang diserahkan oleh Syamsul Nursalim kepada BPPN disebabkan antara lain Syamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali tidak pernah melakukan konversi utang menjadi modal.
Dengan demikian Syamsul juga telah menyerahkan aset kepada BPPN berupa hak tagih kepada perusahaan akuisisi senilai RP.6,51 triliun. Padahal, menurut artikel 2.4 MSAA, Syamsul diharuskan menyerahkan asset berupa saham perusahaan akuisisi. Yakni, saham PT Gajah Tunggal Petrochem Industries, PT Gajah Tunggal dan PT Dipasenan Citra Darmaja.
Kemudian pemegang saham telah melakukan misrepresentasi atas besarnya nilai hutang perusahaan akuisisi terhadap pihak ketiga sebesar US$ 89,3 juta, setara dengan Rp. 1,03 triliun sebagaimana diatur dalam artikel 4.9 dan 5.3 MSAA. "Dengan begitu terdapat kekurangan kewajiban dari Syamsul Nursalim senilai 27,408 triliun dikurangi Rp.22,65 triliun atau senilai Rp.4,758 triliun kepada pemerintah," tegas Edwin.
Kekurangan kewajiban yang harus dipenuhi Syamsul selaku pemegang saham pengendali PT BDNI kepada BPPN sebesar Rp 4,758 triliun adalah akibat pelanggaran yang dilakukan Syamsul selaku pemegang saham pengendali terhadap artikel 2.4, artikel 4.9, artikel 5.3, dan artikel 5.14 MSAA. "Syamsul telah melakukan wanprestasi dan kami akan tuntut secara perdata," ujar Edwin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News