kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kata Faisal Basri dan Azyumardi Azra Soal IKN Baru


Senin, 24 Januari 2022 / 07:47 WIB
Kata Faisal Basri dan Azyumardi Azra Soal IKN Baru
ILUSTRASI. Desain Ibu Kota Negara di Kalimantan


Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan Ibu Kota Negara (IKN) terus ramai menjadi bahan perbincangan baik di forum formal maupun informal, terutama setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN dalam Rapat Paripurna pada Selasa (18/1), menjadi Undang-Undang (UU).

Pemindahan IKN dinilai kurang elok untuk dilaksanakan saat ini, terutama karena kondisi ekonomi Indonesia yang masih dalam proses pemulihan.

Ekonom Faisal Basri menilai bahwa lebih baik untuk selesaikan dahulu keadaan darurat Covid-19. “IKN jangan diutak-atik, selesaikan dulu keadaan darurat, ini yang terpenting,” ujarnya dalam diskusi Pengesahan RUU IKN Untuk Siapa?, Jumat (21/1).

Hal tersebut menurutnya karena ada 134 juta atau 52,8% rakyat Indonesia yang masih tidak aman atau insecure, mereka miskin absolut, nyaris miskin, dan rentan miskin. Tingkat pengangguran saat ini meningkat, yang diiringi dengan menurunnya kualitas pekerja.

Baca Juga: Proses Pembangunan IKN Jadi Peluang Bagi Pengusaha Dalam Negeri

“Orang miskin meningkat karena Covid-19, pengangguran meningkat diiringi dengan menurunnya kualitas pekerja. Jadi yang berkurang adalah pekerja tetap, buruh. Yang meningkat adalah pekerja keluarga, pekerja sendiri, dan sebagainya, ini harus kita pulihkan,” imbuhnya.

Ada juga masalah learning loss yang karena tidak pernah bertemu dengan gurunya dan tidak punya kemewahan untuk menggunakan zoom, orang yang mengalami gangguan kejiwaan karena Covid-19, dan persoalan mengenai climate change.

“Artinya pembangunan ini untuk pembangunan rakyat dulu, sehingga ibu kota urusan yang bisa ditunda, setidaknya 5 tahun,” jelasnya.

Proses Legislasi Terburu-Buru

Selain itu, pembahasan mengenai IKN ini masih dinilai sebagai salah satu proses yang tidak dilakukan dengan baik, salah satunya karena publik dinilai tidak dilibatkan secara penuh pada penyusunan Undang-Undang (UU) IKN dan juga pembuatannya dinilai tergesa-gesa.

Proses pembahasan UU IKN hanya berlangsung dalam satu minggu sebelum masa reses di masa sidang tahun lalu, dan satu minggu setelah masa reses di masa sidang saat ini.

Cepatnya masa pembahasan UU IKN juga dinilai karena mayoritas parlemen juga diisikan oleh orang-orang yang berada di satu gerbong oleh pemerintah. Faisal menilai hal tersebut juga akan menyebabkan tidak adanya check and balance kepada pemerintah saat ini.

“Sekarang yang dilakukan Pak Joko Widodo (Jokowi) adalah konsolidasi politik supaya dia bisa mewujudkan keinginannya agar leluasa, sekarang dari 30an persen (koalisi di parlemen) menjadi 80 persen. Jadi check and balances-nya lemah, ya itu akibatnya, dan indeks demokrasi kita juga turun,” katanya.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengungkapkan bahwa proses yang dilalui untuk disahkannya UU IKN ini tidak mencerminkan legislasi dari negara yang mempraktekan demokrasi.

“Karena rancangan undang-undang nya dirahasiakan, susah mengaksesnya apalagi publik tidak dilibatkan sama sekali,” jelasnya.

Bahkan, ia menjelaskan bahwa proses yang sudah dilalui secara singkat ini adalah hasil dari oligarki politik dan bisnis. Hal tersebut karena kekuatan eksekutif dan legislatif tidak bisa dibendung oleh pihak dari oposisi.

“Oligarki politik yaitu ya coba bayangkan antara eksekutif presiden dengan koalisi besarnya di DPR. Kecuali hanya PKS yang nggak ikut, jadi itu jelas kali ini hasil dari persekongkolan antara konglomerasi politik yang ada di eksekutif terutama dalam hal ini presiden dengan DPR yang kemudian tidak bisa dibendung kekuatan apapun nggak bisa kita ini,” imbuhnya.

Azra menyayangkan bahwa saat ini anggota DPR hanya menjadi stempel dari eksekutif. Dari pengalamannya menyusun amandemen UUD 1945 tahu 1999 sampai dengan 2001, perubahan dibicarakan dengan naskah akademik yang dibicarakan ke kampus-kampus dan kelompok masyarakat.

Baca Juga: Buyung Poetra (HOKI) Melirik Peluang Bisnis di IKN Baru

“Ada iuran pendapat lah ya menggali pendapat dari masalah kalau ini kan nggak ada sama sekali semuanya itu diputuskan oleh oleh oligarki politik itu eksekutif dan legislatif,” ungkapnya.

Menurutnya, saat ini legislatif tidak mendengarkan masyarakat ketika sedang dalam pembahasan RUU yang akan berimbas pada masyarakat. Ia mencontohkan pada pembahasan UU Minerba, UU KPK, dan UU Ciptaker yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha.

Azra juga menyebut bahwa proyek ini tidak akan bertahan lama dari sudut pandang lingkungan. “Jadi sebetulnya ini hanyalah mencerminkan itu saja kemauan yang boleh disebut sebagai megalomania untuk meninggalkan warisan,” kritiknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×