Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar gembira bagi masyarakat Indonesia.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memberi kabar baik bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Sebab, RKUHP menghapus pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang terdapat di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"KUHP ini menghapus pasal-pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada di dalam UU ITE. Jadi saya kira ini suatu kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/11/2022) seperti dikutip Kompas.com.
Pra yang akrab di sapa Prof Eddy ini mengakui, masyarakat kerap mengkritik tindakan aparat penegak hukum yang melakukan penangkapan atau penahanan menggunakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Oleh sebab itu, Eddy mengatakan, akhirnya diputuskan bahwa RKUHP menghapus ketentuan soal pencemaran nama baik dan penghinaan yang terdapat di dalam UU ITE.
"Untuk tidak terjadi disparitas dan gap, maka ketentuan di dalam UU ITE kami masukkan ke RKUHP tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian yang dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana khususnya Pasal 27 dan 28 yang ada dalam UU ITE," ujar Eddy.
Adapun, pasal 27 dan pasal 28 UU ITE selama ini kerap disebut sebagai "pasal karet" karena dengan mudah kritik hingga penghinaan dijerat atas nama pencemaran nama baik dalam pasal tersebut.
Ia melanjutkan, kendati masih mencantumkan ancaman pidana terkait penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga kepresidenan, RKUHP telah memberi batas jelas antara penghinaan dan kritik.
Baca Juga: Kemkominfo Selenggarakan Sosialisasi RUU KUHP di UNS Solo
"Kami kan memperjelas kan di dalam penjelasan itu, kan yang diminta kan perbedaan penghinaan dan kritik, itu sudah kita jelaskan," kata Eddy. Ia pun menjamin bahwa multitafsir terkait pasal penghinaan presiden tidak akan terjadi karena sudah ada penjelasan yang detil.
"Pasal-pasal yang dikhawatirkan itu tidak akan mengalami multiinterpretasi karena sudah kami jelaskan sedetil mungkin," kata Eddy.
Seperti kita ketahui, pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk membawa RKUHP disahkan di rapat paripurna setelah keputusan tingkat I diambil pada Kamis (24/11/2022) pekan lalu.
Dalam rapat keputusan tingkat I, seluruh fraksi di DPR setuju agar RKUHP dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan.
Pada kesempatan sebelumnya pemerintah memastikan tidak akan mengubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kepastian tidak adanya perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Moh. Mahfud MD, pekan lalu di Jakarta.
Baca Juga: Pemerintah Kembali Gelar Sosialisasi RKUHP
Menurut Menko Polhukam Mahfud MD pertimbangan untuk tidak mengubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berdasarkan hasil tim kajian yang dibentuk pemerintah sejak ada perintah Presiden Joko Widodo pada saat memberikan pengarahan kepada Peserta Rapat Pimpinan TNI-Polri, Istana Negara, 15 Februari 2021.
Menurut Mahfud, pemerintah telah membentuk dua tim, yakni tim pertama untuk melakukan kajian mengenai implementasi teknis, yang berisi Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan Jaksa Agung.
Sementara tim kedua bertugas untuk menelaah substansi dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menurut Mahfud, kesimpulan tim mengenai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ada empat hal:
Pertama, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih sangat diperlukan, untuk mengantisipasi dan menghukumi dunia digital, sehingga tidak akan ada pencabutan UU ITE tersebut.
"Di seluruh dunia sedang memperbaiki dan yang belum punya UU ITE sedang membuatnya, yang sudah punya ditelaah lagi untuk memperketat," katanya.
Kedua, untuk mengatasi kecenderungan salah tafsir dan tidak sama penerapan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka pemerintah akan membuat pedoman teknis kriteria implementasi yang nanti diwujudkan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) antara tiga pimpinan instansi yakni Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung dan Kapolri.
"Bentuknya pedoman, menjadi buku saku atau pintar bagi masyarakat polisi dan jaksa di seluruh Indonesia (mengenai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik /ITE)," kata Mahfud MD .
Ketiga, akan ada revisi semantik atau revisi terbatas sangat kecil di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Revisi ini berupa penambahan frasa dan tambahan di penjelasan UU, seperti penjelasan atau definisi mengenai penistaan, fitnah, keonaran. "Sehingga tidak sembarangan dalam menterjemahkan," katanya.
Baca Juga: Perintah Presiden Serap Lebih Masif Masukan Masyarakat di RUU KUHHP
Poin keempat adalah penambahan pasal 45C di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hanya saja Mahfud tidak memberikan perincian apa isi dari pasal 45C tersebut.
Pada kesempatan itu guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini juga menjelaskan, nantinya sebagian dari pasal-pasal di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini juga sudah dimasukkan di rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah dibahas di DPR namun gagal di sahkan dalam masa pemerintahan presiden Joko Widodo periode pertama.
Menurut Mahfud nantinya agar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) selaras dengan KUHP yang baru, akan ada pasal peralihan agar aturan di UU ITE tersebut tetap berlaku meskipun diatur di KUHP.
Desakan masyarakat agar pemerintah mencabut atau merevisi UU Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena beleid ini banyak memakan korban masyarakat yang bermaksud mengkritisi kebijakan pemerintah.
Sebelumnya Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) (21/4) menyebut dalam laporan yang mereka analisis mengenai situasi dan kondisi pemenuhan hak-hak digital di Indonesia selama 3 tahun terakhir menunjukkan, situasi hak-hak digital di Indonesia kian memburuk.
SAFEnet menyebut status Waspada pada tahun 2018, lalu meningkat Siaga Satu di tahun 2019.
"Indonesia semakin mendekati otoritarianisme digital karena pada tahun 2020 meningkat statusnya menjadi Siaga Dua," ungkap Damar.
Laporan SAFEnet mengungkap sepanjang 2020, jerat kasus kriminal terhadap pengguna internet semakin meningkat.
Mereka mencatat ada 84 kasus pemidanaan terhadap warga, atau naik tajam dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya 24 kasus.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum sebelumnya juga menyebut yang paling banyak adalah pasal 28 ayat 2 dan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tetapi ada juga penggunaan pasal lain seperti pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pasal lain yang menjerat masyarakat adalah Pasal 28 ayat 1 tentang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kabar bohong konsumen, terhadap aktivis buruh, pelajar dan mahasiswa yang banyak terjerat kasus pidana dengan pasal karet UU ITE.
Seperti kita tahu, polemik UU ITE ini juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo untuk membuat pedoman dalam pelaksanaan penegakan hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baca Juga: Skema Otoritas Perlindungan Data Pribadi (PDP) Independen Dinilai Akan Lebih Efektif
Pedoman ini bertujuan agar seluruh anggota kepolisian tidak memiliki penafsiran sendiri-sendiri dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tersebut.
"Saya minta kepada Kapolri agar jajarannya selektif menyikapi dan menerima laporan pelanggaran terhadap UU ITE. Hati-hati dengan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multi tafsir, harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi UU ITE biar jelas!," kata Presiden Joko Widodo saat memberikan pengarahan kepada Peserta Rapat Pimpinan TNI-Polri, Istana Negara, 15 Februari 2021.
Menurut Presiden, belakangan ini banyak warga masyarakat saling melaporkan terjadinya pelanggaran hukum sehingga menyebabkan adanya proses hukum yang kurang memenuhi rasa keadilan.
Meskipun demikian Presiden Jokowi menyadari pelapor tersebut ada rujukan hukumnya, yakni UU ITE. Presiden Jokowi juga memahami semangat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bisa bersih dan sehat, serta beretika serta bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara produktif.
"Tapi implementasinya dan pelaksanaannya jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan," tandas Presiden Jokowi
Karena itu Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri agar meningkatkan pengawasan sehingga agar implementasi dari pedoman tersebut tetap berjalan dengan konsisten akuntabel dan berkeadilan.
"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE ini karena di sinilah hulunya," tandas Presiden Jokowi
Presiden Jokowi juga menegaskan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini terutama untuk menghapus pasal -pasal karet yang penafsiranya berbeda-beda dan mudah dintepretasikan secara sepihak oleh aparat penegak hukum.
Masyarakat Indonesia pengguna media sosial atau Medsos harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat agar tidak terjerat kasus pidana.
Selain itu, ekspresi kebebasan berpendapat ini harus memegang etika agar tidak terjerat pada kasus hukum pidana di Undang Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sebab UU ITE ini akan mudah memidanakan kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian.
Dalam catatan Treviliana Eka Putri, Manager Riset Center For Digital Society (CFDS), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) melansir data dari Safenet.or.id kasus pidana menggunakan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga 30 Oktober 2020, mencapai 324 kasus.
"Spirit UU ITE seharusnya untuk menciptakan rasa aman bagi semua orang di media daring, tapi kini UU ITE banyak memakan korban. Pelapor punya power dan terlapor tidak punya kekuatan seperti orang awam juga aktivis," kata Treviliana dalam diskusi daring bertema Batasan Kebebasan Ekspresi dan Menyatakan Pendapat Ditinjau dari UU ITE yang digelar Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum UGM, Sabtu (31/10) malam.
Berdasarkan perincian data dari Safe.net, dari 324 kasus pidana di UU ITE, sebanyak 209 orang dijerat dengan pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik.
Sebagai catatan pasal Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 ini selengkapnya berbunyi :
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Selain itu, sebanyak 76 kasus dijerat dengan Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang ujaran kebencian.
Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan asa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dari jumlah kasus laporan hukum ini, Menurut catatan Treviliana, "Sebanyak 172 kasus yang dilaporkan itu berasal dari unggahan di media Facebook termasuk Facebook pages," katanya.
Karena itulah, Treviliana memandang perlunya literasi digital bagi masyarakat, khususnya dalam memproduksi konten digital. "Konsumsi digital di Indonesia masih oke tapi untuk memproduksi ranah digital masih kurang pengetahuan," katanya.
Ia mengusulkan perlu komitmen semua pihak, termasuk di bidang pendidikan dengan memasukkan kurikulum literasi digital dan membuat program nasional literasi digital.
Menanggapi banyaknya kasus masyarakat yang terjerat dengan UU ITE, Supandriyo, Hakim Yustisial di Lingkungan Badan Pengawasan Mahkamah Agung berpendapat pada beberapa kasus putusan hakim memang berbeda-beda.
Ia menyebut di tataran praktek, situasi hukum tidak ada kejelasan. Untuk itu hakim perlu melakukan penemuan hukum dengan cara konstruksi dan interpretasi. Penemuan hukum sesuai dengan kapasitas masing-masing sehingga menimbulkan konteks pemaknaan terhadap pelanggaran kesusilaan bisa beda, paradigma berpikir hakim juga berbeda.
Sebagai gambaran ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta.
Sementara, ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Karenanya tersangka yang dikenakan tuduhan atas pasal ini biasanya langsung di tahan oleh pihak kepolisian.
Sementara guru besar Fakultas Hukum UGM Edward Omar Sharif Hiariej atau dikenal dengan sebutan Prof Eddy menjelaskan, Pada UU ITE pembuat Undang-Undang memang memasukkan pasal pasal yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 310 sampai dengan pasal 321 yang berisi pencemaran nama baik ada enam bentuk penghinaan ke dalam satu keranjang yaitu pasal 27 dan pasal 28, di UU No ITE.
"Karena di delik KUHP sama hanya medianya berbeda di dunia nyata dan dunia maya,"kata Prof Eddy yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini.
Selain itu, dalam konteks Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk membuktikan unsur menyebarluaskan sangat mudah dibandingkan dengan dunia nyata.
Penafsiran menyebarluaskan atau diketahui banyak orang dengan cara manual dengan medsos sehingga sangat mudah untuk membuktikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News