Reporter: Teodosius Domina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Dalam kasus dugaan korupsi e-KTP, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai Miryam S Haryani telah memberikan keterangan palsu. Oleh sebab itu, jaksa meminta agar majelis hakim menetapkan Miryam sebagai tersangka dan melakukan penahanan.
"Yang Mulia, sesuai Pasal 174 KUHAP, kami meminta majelis hakim menetapkan saksi Miryam S Haryani sebagai pemberi keterangan palsu. Untuk itu dilakukan penahanan pada yang bersangkutan," ujar Irene Putri, jaksa KPK ketika sidang e-KTP hari ini, Kamis (30/3).
Berdasarkan Pasal 174 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, apabila saksi memberikan keterangan palsu di persidangan, Ketua Majelis Hakim dapat memperingatkan saksi agar memberikan keterangan yang sebenarnya lantaran ada ancaman pidana.
Namun, apabila saksi tetap berbohong, hakim, atas permintaan jaksa, dapat memberi perintah agar saksi segera ditahan dan selanjutnya dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
Permohonan ini tidak langsung disetujui oleh Hakim Ketua, Jhon Halasan Butarbutar. Jhon meminta agar pada persidangan selanjutnya, keterangan dari saksi lain dicermati. Sehingga bila memang tidak ada kesesuaian, alias Miryam melakukan kebohongan, permintaan jaksa baru bisa dipenuhi.
"Majelis berpendapat bahwa memandang perlu untuk lebih lanjut kami dengar keterangan saksi lainnya. Tapi tidak menutup Anda melakukan proses hukum di luar Pasal 174 KUHAP," kata Jhon.
Dalam persidangan, Miryam membantah semua keterangan yang ia sampaikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) soal pembagian uang hasil korupsi e-KTP. Padahal, Miryam menjelaskan secara rinci pembagian uang dalam kasus e-KTP.
Miryam justru bilang bahwa penyidik KPK yang melakukan penekanan sehingga ia tidak pernah merasa nyaman ketika diperiksa. Jawaban yang ia lontarkan pun hanya demi menyenangkan penyidik.
Sementara itu, jika ditinjau dari pasal 22 jo. Pasal 35 UU No. 31/1999 tentang pemberantasan Tipikor, saksi palsu terancam hukuman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News