Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengaku siap pasang badan dan membantu Pemerintah Indonesia menghadapi gugatan arbitrase yang diajukan oleh Churchill Mining Plc, di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).
Gugatan tersebut diajukan terkait tumpang tindih pertambangan batubara di Kutai, Kalimantan Timur. Menurut Jaksa Agung, Basrief Arief, saat ini pihaknya masih menunggu Surat Kuasa Khusus dari Pemerintah. “Jika ada gugatan arbitrase pemerintah menunjuk kami (Kejaksaan Agung) sebagai kuasa hukum negara,” kata Basrief.
Basrief menjelaskan, saat ini pihaknya baru melakukan komunikasi dengan pemerintah secara lisan. Namun karena belum ada penunjukan dari pemerintah, Kejaksaan belum mau komentar banyak soal materi gugatan.
Sebagai informasi saja, dalam gugatan tersebut, Churchill Mining menuntut ganti rugi kepada Pemerintah Indonesia senilai US$ 2 miliar. Gugatan dari Churchill telah sampai ke ICSID, pada 22 Mei lalu.
Kemudian tanggal 30 Mei, ICSID mengirim pemberitahuan kepada Presiden Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Bupati Kutai Timur.
Churchill Mining Plc menuding, pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyita aset miliknya tanpa adanya kompensasi yang layak. Churchill Mining juga berupaya melakukan negosiasi masalah ini sejak dua tahun silam.
Churchill Mining Plc mulai eksplorasi batubara sejak tahun 2008. Perusahaan tambang ini terjun ke Kalimantan dengan cara akuisisi 75% perusahaan lokal bernama Ridlatama Group, Quinlivan yang memperkirakan ada cadangan batubara sebesar 2,73 miliar ton.
Dengan cadangan itu, potensi penghasilan perusahaan bisa mencapai US$ 700 juta -US$ 1 miliar per tahun, dalam 20 tahun ke depan.
Tetapi naas, empat izin usaha pertambangan (IUP) milik Ridlatama itu dicabut oleh daerah. Isran Noor, selaku Bupati Kutai Timur bilang, alasan pencabutan izin itu karena adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006–2008, yang mengindikasikan adanya IUP palsu.
Selain itu, empat konsesi eksplorasi tambang yang dilakukan Churchill tersebut juga berada di atas hutan produksi, sehingga harus ada izin dari Menteri Kehutanan. Nah, Menteri Kehutanan ternyata tidak pernah mengeluarkan izin tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News