Reporter: Rashif Usman | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Iran meluncurkan ratusan drone dan rudal balistik ke Israel pada Sabtu (13/4) malam sebagai misi balasan atas serangan udara pada 1 April lalu. Serangan tersebut dinilai bakal menimbulkan dampak perekonomian global, termasuk Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti bilang konflik Timur Tengah antara Iran-Israel tentu sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, terutama pada harga energi. Pasalnya, Indonesia masih menjadi salah satu negara pengimpor minyak meski memiliki sumber energi tersebut.
"Hitungan kasar saya akan ada kenaikan subsidi energi sebanding kenaikan harga minyak yaitu sekitar 26%-32%," kata Esther kepada Kontan, Minggu (14/4).
Terkait konflik tersebut, dirinya mengatakan hal utama yang harus dilakukan pemerintah adalah merevisi asumsi indikator makro ekonomi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Baca Juga: Menakar Dampak Serangan Iran ke Israel Bagi Perekonomian Indonesia
"Kedua indikator itu berdampak pada kenaikan anggaran APBN khususnya belanja terkait subsidi BBM, energi, impor dan lainnya. Apalagi besarnya cicilan utang luar negeri dan bunga juga meningkat," jelasnya
"Belum lagi berbagai belanja pemerintah terkait infrastruktur dan belanja pembangunan lainnya juga akan meningkat," lanjutnya.
Maka dari itu, Esther menyarankan agar anggaran dapat dialokasikan ke aktivitas yang lebih produktif, sehingga bisa meraup pendapatan lebih banyak. Selain itu, perlu adanya dorongan ekspor produksi industri dalam negeri.
"Anggaran (perlu) dikelola secara efisien dan hindari pemborosan," ucapnya.
Sementara itu, dirinya berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 masih berada di level 4,8%-5% dengan berbagai kalkulasi, termasuk tekanan dari konflik Iran-Israel.
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyampaikan bahwa Indonesia perlu melakukan penyesuaian dari sisi kebijakan fiskal terutama untuk merespons kenaikan harga minyak termasuk pada penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Baca Juga: Eskalasi Konflik Israel-Iran Bakal Berdampak pada Ekonomi Global Termasuk Indonesia
"Mungkin dari sisi anggaran fiskal perlu ada penyesuaian termasuk kemungkinan terburuk yaitu penyesuaian BBM, karena harga minyak cenderung naik dan rupiah melemah. Mungkin perlu ada realokasi dari sisi anggaran," tuturnya.
Dalam perhitungannya, setiap rupiah yang melemah sebesar Rp 500 dan harga minyak naik US$ 10 per barel, maka anggaran subsidi atau kompensasi diproyeksi meningkat Rp 100 triliun.
"Dengan rupiah mencapai sekitar Rp 16.000 dan minyak US$ 92 saja defisit sekitar 2,5% produk domestik bruto (PDB)," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News