Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi langsung atau foregn direct investment (FDI) menjadi salah satu motor penggerak produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Amerika Serikat (AS) meyakini sebagai kontributor FDI di Indonesia dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
American Chamber of Commerce in Indonesia (AmCham Indonesia) dalam laporan Ernst and Young yang berjudul Kemitraan AS-Indonesia; Investasi yang Memberi Dampak menilai pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mampu berada di level 7% jika pemerintah bisa menjaga dan mendukung iklim bisnis perusahaan internasional untuk dapat bersaing.
Baca Juga: Ditekan sentimen perang dagang, rupiah diprediksi koreksi hari ini
AmCham Indonesia menilai AS adalah sumber utama FDI ke Indonesia dengan perkiraan sebesar US$ 38,7 miliar telah diinvestasikan dari 2013-2017. Angka ini, mencakup perkiraan investasi hulu sektor minyak dan gas bumi, hampir lima kali lipat dari data resmi pemerintah sebesar US$ 7,78 miliar (tidak termasuk investasi migas).
Hitung-hitungang AmCham Indonesia, realisasi FDI tersebut mencapai tiga kali FDI China ke Indonesia yang hanya US$ 10,1 miliar. Meskipun perusahaan-perusahaan AS cukup banyak berinvestasi ke Indonesia, sepertinya mereka dapat berinvestasi lebih banyak lagi.
Tahun 2013, penelitian AmCham serupa melaporkan bahwa investasi senilai sekitar US$ 61 miliar direncanakan untuk masuk ke Indonesia dalam lima tahun setelahnya. Jumlah tersebut jauh dari angka investasi selama periode 2013-2017, senilai US$ 38,7 miliar.
Meski demikian, President of AmCham Indonesia Scott Hanna mengatakan untuk bisa meningkatkan PDB Indonesia lewat investasi, pemerintah perlu mengevaluasi masalah yang selama ini dirasakan investor asing. Menurutnya banyak peraturan dan kebijakan nasional yang menghambat FDI.
Baca Juga: Pertumbuhan konsumsi rumah tangga diprediksi melambat tahun depan, kenapa?
Indeks World Economic Forum (WEF) menunjukkan bahwa beban investasi pemerintah hanya sedikit meningkat dari 4,0 pada 2013 menjadi 4,1 pada 2018. Hanna menilai ini tantangan bagi Indonesia karena negara-negara pesaing, kini sedang memperbaiki lingkungan pendukung usaha lebih cepat.
Hanna memandang dari sisi industri manufaktur, keterbatasan tenaga kerja terampil, logistik dan kemampuan riset, perlindungan kekayaan intelektual yang lemah, serta kendala regulasi menahan keputusan para investor untuk masuk atau berkembang di Indonesia.