Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Setiap tahunnya, sektor manufaktur atau industri pengolahan menjadi sektor penerima belanja perpajakan terbesar.
Misalnya pada tahun 2021, belanja perpajakan untuk industri pengolahan sebesar Rp 72,3 triliun dan terus meningkat hingga 2026 direncanakan menjadi Rp 141,7 triliun.
Kendati begitu, meski industri pengolahan terus mendapatkan belanja perpajakan dengan nilai jumbo, kinerja sektor manufaktur masih menunjukkan pelemahan.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai persoalan yang dihadapi industri pengolahan atau sektor manufaktur Indonesia jauh lebih kompleks dibanding sekadar beban pajak.
Baca Juga: Perkuat Arah Bisnis Berkelanjutan di Indonesia, Panasonic Gobel Gandeng Rekosistem
Menurutnya, insentif fiskal seperti potongan pajak dan relaksasi pajak pertambahan nilai (PPN) memang membantu, namun tidak mampu menjawab masalah mendasar yang membuat sektor manufaktur RI mengalami gejala premature deindustrialisation dalam dua dekade terakhir.
Ia menjelaskan, berbagai macam relaksasi pajak bisa membantu dunia usaha di sektor pengolahan untuk menekan harga produknya agar bisa semakin kompetitif dari sisi harga.
"Tapi terbukti hal itu tak benar-benar bisa membuat harga produk manufaktur nasional kompetitif di satu sisi dan tak membuat produk manufaktur semakin berkualitas di sisi lain," ujar Ronny kepada Kontan.co.id, Senin (25/8).
Ia menjelaskan, akar masalah manufaktur Indonesia terletak pada daya saing yang lemah. Faktor yang memengaruhinya mencakup teknologi, riset, harga energi, rantai pasok, kemudahan akses pembiayaan murah, hingga kapasitas serap pasar domestik.
"Dalam konteks ini, insentif pajak dan berbagai jenis relaksasi fiskal lainya dari pemerintah hanya sebagian kecil dari solusi masalah-masalah yang dihadapi sektor manufaktur kita," katanya.
Ronny juga menyoroti masalah penting lainnya yang membebani sektor manufaktur.
Ia menyebut, stagnasi bahkan penurunan daya beli kelas menengah pasca-pandemi menjadi sumber masalah. Pelemahan kapasitas konsumsi ini membuat pasar domestik menyusut, sementara preferensi konsumen beralih ke produk substitusi yang lebih murah.
“Celakanya, produk-produk impor jauh lebih mampu untuk memenuhinya, karena harganya yang cenderung lebih murah," katanya.
Selain itu, perlambatan ekonomi global yang menekan permintaan ekspor produk manufaktur Indonesia. Menurutnya, tren penurunan ekspor nasional dalam lima tahun terakhir menjadi bukti nyata, meski neraca dagang tetap surplus akibat impor yang ikut menurun.
Ronny menegaskan perlunya strategi yang lebih komprehensif untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur.
Ia menyebut beberapa langkah, mulai dari deregulasi, penguatan kapasitas kelembagaan sektoral, kolaborasi riset dan pengembangan (R&D) antara pemerintah dan dunia usaha, skema pembiayaan murah, pembukaan pasar baru di tingkat global, hingga penguatan daya beli kelas menengah.
Baca Juga: Mengukur Dampak Pembatasan Pasokan Gas Terhadap Industri Manufaktur
Selanjutnya: Imbas Demo, KAI Hentikan KRL Jurusan Tanah Abang-Palmerah
Menarik Dibaca: 6 Rekomendasi Serum Retinol Korea Terbaik, Rahasia Glass Skin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News