Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Untuk mengatasi penyebaran corona atau Covid-19, Presiden Jokowidodo memutuskan pembatasan sosial skala besar (PSSB) sebagai alat baru, ketimbang karantina wilayah.
Status tersebut diterapkan dengan membuat kebijakan pembatasan sosial atau physical distancing skala besar dengan lebih efektif. Physical distancing harus dilakukan untuk memutus rantai penularan virus corona di Indonesia dengan pengawasan lebih ketat.
Lantas apa dasar hukum pembatasan sosial skala besar itu? Pembatasan sosial skala besar (PSSB) sejatinya sudah diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam pasal 15 UU Kekarantinaan Kesehatan disebutkan bahwa PSSB merupakan salah satu tindakan kekerantinaan kesehatan yang dilakukan terhadap alat angkut, orang, barang, dan lingkungan.
Pasal 59 UU Kekerantinaan Kesehatan menyebutkan, bahwa PSSB bertujuan mencegah meluaskan penyebaran penyakit yang terjadi antarorang di sebuah wilayah. Kebijakan PSSB, diatur dalam pasal yang sama, sedikitnya meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Selain itu, Presiden menyebut bahwa kondisi saat ini masuk darurat sipil. Nah, status darurat sipil sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam pasal 3 beleid tersebut disebutkan bahwa keadaan darurat sipil ditangani oleh pejabat sipil yang ditetapkan Presiden, dengan dibantu oleh TNI/Polri.
Pemerintah tak mengambil opsi lockdown atau karantina wilayah dalam upaya mencegah penularan wabah virus corona karena langkah lockdown yang ditempuh beberapa negara justru menimbulkan masalah baru. Tak hanya itu, upaya lockdown juga gagal mencegah penyebaran infeksi virus corona.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, Senin (30/3) menjelaskan, masalah yang muncul antara lain, penumpukan masyarakat yang berusaha pulang ke kampung. Kondisi ini pula yang terjadi di India. Sesaat setelah diumumkan, masyarakat berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya. “Penyebaran menjadi tak terkendali, warga yang tadinya negatif menjadi positif,” ujar Doni.
Tak hanya itu saja, karantina wilayah juga bisa menimbulkan kelaparan dan keriuhan sosil, jika tanpa persiapan matang seperti ketersediaan pangan, rumah sakit yang cukup, alat kesehatan yang juga cukup serta pengawasan yang ketat.
Kata Doni, pemerintah berupaya mengambil keputusan dengan menimbang berbagai aspek. Tak hanya soal sosial dan ekonomi, tapi juga dampak kesehatan masyarakat. "Dalam konsep penanganan bencana, penyelesaian bencana tidak dibenarkan menimbulkan masalah baru atau bencana baru," tandas Doni dalam jumpa pers daring yang diikuti kontan.co.id. (30/3).
Dalam UU Karantina wilayah merupakan kewenangan penuh yang dimiliki pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Salah satu poin pertimbangan pemerintah adalah adanya kewajiban pemerintah untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar masyarakat yang dikarantina di suatu wilayah.
Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, pasal 55 UU itu menyebut bahwa pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang karantina, bahkan termasuk hewan peliharaan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News