Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah mengagendakan reformasi perpajakan lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Beleid yang mengusung metode omnibus law tersebut kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI. Kedua belah pihak berharap beleid tersebut bisa diundangkan di tahun ini, sehingga beberapa klausul bisa diimplementasikan pada 2022 atau 2023.
Hal ini sejalan dengan pipeline pemerintah yang harus menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2023 di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB). Sebab, sepanjang pandemi saat penerimaan pajak loyo, pemerintah diperbolehkan memperlebar ruang defisit lebih dari 3% dari 2020 hingga 2022.
Namun demikian, rencana kebijakan perpajakan dalam RUU KUP menuai banyak koreksi dari parlemen. Bahkan dari sisi penamaan RUU KUP saja akan diubah karena sejatinya beleid tersebut tak hanya mencakup KUP, tapi juga Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan cukai.
Setali tiga uang, DPR mengusulkan pilihan perubahan nama menjadi RUU tentang Harmonisasi Perpajakan, RUU tentang Perpajakan, RUU tentang Kodifikasi Undang-Undang Perpajakan, atau RUU tentang Ketentuan Perpajakan Untuk Pemulihan Ekonomi Nasional dan Peningkatan Kinerja Penerimaan Pajak yang Berkelanjutan.
Baca Juga: Sri Mulyani beberkan alasan adanya rencana terapkan PPN sembako hingga pendidikan
Masukan tersebut tertuang dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU KUP dari Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI yang dihimpun Kontan.co.id. Lebih lanjut ada beberapa poin substansial yang menjadi masukan parlemen.
Terhadap usulan pemerintah untuk menggelar pengampunan pajak atau pengungkapan pajak suka rela dalam RUU KUP, Fraksi Gerindra menilai jika agenda tersebut digelar perlu jaminan pemerintah bahwa dapat meningkatkan penerimaan perpajakan dan rasio perpajakan, serta mampu mencapai target yang ditetapkan, dan tidak mengulangi kegagalan tax amnesty pada 2016-2017.
Sebab, pada tax amnesty 2016-2017 kurang maksimal dalam mencapai target. Karenanya hanya terdapat 956.793 wajib pajak yang ikut serta tax amnesty, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan WP wajib lapor Surat Pemberitahuan (SPT) yang mencapai 20,1 juta dari jumlah WP yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebanyak 32,7 juta.
Sementara, nilai harta yang diungkapkan sebesar Rp 4.854,63 triliun, yang berasal dari dalam negeri Rp 3.676 triliun dan luar negeri Rp 1.036 triliun. Namun nilai repatriasi pajak hanya sebesar Rp 147 triliun atau setara 14,7% dari target Rp 1.000 triliun.
Oleh karenanya, Gerindra menimbang mestinya pemerintah menegakkan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak, ketimbang menggelar tax amnesty kembali. Sehingga, Gerindra menilai wajar jika pemerintah musti menjamin pengampunan pajak yang diusung dalam RUU KUP bisa efektif.
Di sisi lain, Fraksi Partai Golkar juga mengkaji bahwa perlu adanya formulasi tarif dalam program pengampunan pajak. Sebab, tarif yang terlalu tinggi berpotensi menurunkan minat partisipasi WP secara sukarela.