kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini masukan Rektor IPB untuk ketersediaan pangan Indonesia


Rabu, 12 Agustus 2020 / 23:25 WIB
Ini masukan Rektor IPB untuk ketersediaan pangan Indonesia
ILUSTRASI. Perlu adanya reforma agraria dan pengendalian konversi lahan sebagai prasyarat kemandirian pangan.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rektor Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Prof Dr Arif Satria menuturkan bahwa terdapat langkah-langkah yang dapat dilakukan guna mendorong kemandirian pangan.

Solusi jangka pendek dapat dilakukan pertama, perlindungan petani seperti pertama kebijakan logistik agromaritim dan rantai pasok pangan yang melibatkan BUMN pangan, koperasi dan swasta. Sistem logistik baru ini disebut Arif memerlukan inovasi berbasis teknologi 4.0 khususnya blokchain.

Kedua, memperluas akses petani, peternak dan nelayan pada jaringan pemasaran daring. Ketiga, stimulus ekonomi khusus untuk pertanian dan pedesaan, dan keempat skema perlindungan dan jaring pengaman sosial.

Baca Juga: Membangun lumbung pangan baru di bekas lahan gambut

Sedangkan untuk solusi jangka menengah perlu adanya gerakan produksi skala rumah tangga, adanya produk substitusi impor misalnya mie berbahan baku wortel, bayam, dan jagung. Kemudian, adanya penyempurnaan sistem data dan informasi pertanian dan perikanan secara spasial diiringi pola pertanian presisi berbasis teknologi 4.0.

Selain itu perlu adanya reforma agraria dan pengendalian konversi lahan sebagai prasyarat kemandirian pangan dalam bentuk land refrom dan access reform. "Kemudian perlu mempercepat regenarasi petani melalui petani milenial. Rata-rata petani kita berusia 47 tahun, maka 5 sampai 10 tahun lagi mungkin ada krisis tenaga kerja sektor pertanian. Oleh karenanya inovasi Pertanian 4.0 diperlukan. Perlu solusi mengatasi food loss dan food waste dan terakhir adalah inovasi pertanian 4.0," kata Arif saat Webinar Sarasehan Peradaban Indonesia pada Rabu (12/8).

Indeks pangan pangan global Indonesia ini saat ini masih berada di bawah negara-negara seperti Malaysia, Thailand dan juga Vietnam. Kemudian di Global Hunger Indeks Score, Indonesia juga masih di bawah Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Disebutkan perlu waktu 10 tahun untuk mengejar agar setara dengan posisi Thailand saat ini.

"Jadi kalau 10 tahun lagi skor Global Hunger Index kita 9,7 mungkin Thailand sudah poin 5 atau 4 setara dengan posisi Jepang saat ini. Jadi kita dengan negara Asean sudah miliki ketertinggalan," kata dia.

Baca Juga: Ini alasan Kementan gandeng IPB University dalam program diversifikasi pangan

Lebih mengejutkan lagi kalau dilihat food sustainability index, Indonesia berada di bawah Zimbabwe dan Ethiopia. Padahal 20 tahun lalu jika mendengar kata Ethiopia maka yang terbesit adalah kelaparan. Namun sekarang Ethiopia sudah bangkit dan memiliki food sustainability yang jauh lebih tinggi dari Indonesia.

"Saat saya bicara di FAO beberapa waktu lalu, ternyata Afrika punya strategi dahsyat sekali untuk rekontruksi pembangunan pertanian dengan teknologi terkini dan suksesnya sudah nyata saat ini," kata Arif.

Mengenai ketersediaan pangan selain ada isu produksi juga tak lepas dari adanya masalah food loss dan food waste atau pangan yang terbuang dan pangan yang menjadi sampah. Indonesia sendiri jadi kontributor kedua terbesar di dunia sebagai kontributor food loss dan food waste setelah Arab Saudi.

Baca Juga: Ada empat program baru untuk pulihkan ekonomi, sedot anggaran Rp 126,2 triliun

"Kalau kita panen padi di sawah itu yang tercecer sampai 17%, kalau itu diselamatkan saja maka ketersediaan pangan kita sudah bisa teratasi. Apalagi ditambah dengan konsumsi tidak buang-buang makanan saat pesta pernikahan dan saat maka di rumah. Kalau konsumsi kita bisa tekan 4% waste-nya atau terbuangnya maka bisa meningkatkan ketersediaan pangan," kata Arif.

Kondisi saat ini disebut Prof Arif jadi momentum untuk meneguhkan kemandirian pangan. Kondisi eksternal tidak kondusif untuk terima barang impor pada saat yang sama Indonesia harus percaya diri bahwa kemandirian pangan jadi keniscayaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×