Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang antara China dan Amerika Serikat memberikan peluang yang jarang-jarang terjadi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Namun, kenyataannya berkompetisi dengan Vietnam saja dalam menggaet investasi, Indonesia masih kalah.
Menanggapi hal itu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengajak semua pihak tetap optimistis, karena peluang (menggaet investasi) masih sangat-sangat besar. Hal ini menunjuk persepsi internasional kepada Indonesia yang saat ini sedang bagus-bagusnya.
“Buktinya rupiah lagi menguat, rupiah lagi menguat terus, nih. Harga obligasi pemerintah lagi naik terus. Jadi ini menunjukkan kalangan investor internasional sangat-sangat mengapresiasi Indonesia yang terus konsisten berorientasi pada orde reformasi ekonomi, dengan prudential sangat rasional dan bertanggung jawab dalam mengelola makro dan kebijakan ekonomi,” kata Thomas dikutip dari laman setkab.go.id, Kamis (12/9).
Baca Juga: Dilema produsen batubara penuhi 25% DMO versus daya serap yang minim
Diakui Kepala BKPM jika juga ada ancaman sebagaimana dilaporkan oleh Bank Dunia pekan lalu, bahwa dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia ada ancaman bagi negara-negara berkembang, yaitu capital outflow, yang kalau investor-investor menarik investasinya dalam jumlah yang besar. Ini tentunya jadi bisa membahayakan kurs dan juga cadangan devisa bank-bank sentral negara berkembang, termasuk Indonesia.
Solusi yang paling elegan, yang paling efektif, yang paling jelas, menurut Thomas Lembong, kita harus membenahi diri untuk lebih efektif untuk bisa lebih menang di kontestasi regional, untuk bisa menarik investasi di pabrik-pabrik, di sektor riil yang juga kemudian menciptakan lapangan kerja, yang menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.
Kepala BKPM Thomas Lembong mengemukakan, dalam rapat terbatas yang membahas masalah Perbaikan Ekosistem Investasi itu dirinya telah memaparkan lima besar keluhan yang sering kali disampaikan investor, baik domestik maupun internasional.
Yang pertama, menurut Thomas Lembong, soal regulasi. Ia menilai, peraturan-peraturan yang abu-abu, enggak jelas, tumpang-tindih kewenangan, atau suka berubah-berubah mendadak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kemudian juga perizinan yang bertele-tele.
Baca Juga: Kemenkeu telah mengantisipasi perubahan nomenklatur pemerintah di APBN 2020
“Pendaftaran dijadikan izin, syarat dijadikan izin, rekomen teks dijadikan izin, semuanya dijadikan izin. Inikan sangat-sangat menghambat proses-proses dunia usaha,” terang Thomas Lembong.
Kedua adalah isu-isu perpajakan. “Bicara jujur, meskipun sudah banyak perbaikan tetap cukup banyak keluhan dari investor dari sisi pemberlakuan atau perlakuan pajak kepada investor,” kata Thomas.