kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Indef: Paket kebijakan SBY normatif


Jumat, 23 Agustus 2013 / 17:11 WIB
Indef: Paket kebijakan SBY normatif
Sejumlah peserta mengikuti acara meeting pertama Digital Economy Working Group (DEWG) Presidensi G20 Indonesia di Hotel Aruna , Senggigi, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, NTB, Selasa (29/3/2022). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc.


Reporter: Fahriyadi | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Empat paket kebijakan anti krisis yang diusung oleh pemerintah dianggap normatif dan tak menyentuh akar permasalahan.

Ekonom Institute  for Development  of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai, beberapa kebijakan itu dirasa tidak tepat dan bersifat jangka menengah dan panjang.

Padahal, paket kebijakan yang sifatnya jangka pendek diperlukan mengingat defisit perdagangan dan ancaman krisis terjadi saat ini.

Ia mencontohkan, insentif pajak bagi industri padat karya dan padat modal yang 30% produksinya berorientasi ekspor.

Menurut Enny, insentif pajak seharusnya diberikan bagi industri hilirisasi dan substitusi impor untuk menekan arus barang impor  dari luar negeri.

“Selain itu dalam paket kebijakan kedua disebutkan bahwa industri padat karya diberikan keringanan pajak. Padahal yang mereka butuhkan adalah subsidi bunga pinjaman perbanakan dari pemerintah” ujar kepada Kontan, Jumat (23/8).

Ia menambahkan, penurunan impor migas dengan memperbesar biodiesel dengan harapan bisa mengurangi pemakaian solar dirasa sulit dilakukan selama tidak ada kebijakan tegas dalam pengendalian pemakaian BBM jenis solar ini.

Selain itu, lanjut Enny, peningkatan pajak barang mewah untuk mobil completely built up (CBU) dan barang impor bermerek lainnya dari 75% ke 125% tidak mengatasi persoalan. Menurutnya, produk itu dikonsumsi oleh masyarakat menengah atas yang permintaannya elastis.

Ia melanjutkan, kebijakan untuk menjaga gejolak harga dan inflasi untuk meningkatkan daya beli masyarakat dirasa kurang konkret dan spesifik.

Contoh, sektor pangan yang menyumbang inflasi cukup besar justru tidak ada kebijakan untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri lewat kebijakan yang dan tata kelola yang baik. “Anggaran pertanian tahun 2014 justru dikurangi,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×