Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan terkait dengan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5% telah mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19 dan bisa menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan seputar Industri rokok yang selalu ada sampai saat ini.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan berdasarkan kajian yang dia lakukan, kenaikan tarif cukai tidak mampu mewujudkan 4 pilar yang telah ditargetkan Pemerintah.
Ia menilai, kenaikan cukai rokok dalam kondisi normal saja akan mengurangi keterjangkauan atau daya beli masyarakat, apalagi dalam kondisi pandemi COVID-19 seperti ini. Namun, berdasarkan asumsi yang dibangun Badan Kebijakan Fiskal (BKF), justru affordability mengalami kenaikan.
Baca Juga: Bantu IKM berkembang, Bea Cukai gencarkan asistensi fasilitas kemudahan impor
Selanjutnya keterjangkauan masyarakat terhadap harga rokok, dimana Indonesia menempati urutan ke 3 di Asia dan 12 di Asean, itulah yang kemudian menurut Enny harus menjadi pertimbangan pemerintah, bukan justru diabaikan.
"Dari dua data itu bisa disimpulkan harga rokok tidak bisa dikatakan murah, dan tingkat keterjangkauan masyarakat cukup jauh atau tidak mudah. Jadi artinya kenapa keterjangkauan ini penting karena kalau dikatakan mereka elastisitasnya, relatif elastis, maka mereka akan mencari substitusinya yang larinya ke rokok ilegal,” kat Enny dalam keterangan resminya yang diterima Kontan.co.id, Kamis (31/12).
Enny mengungkapkan, kedua hal itu yang menghubungkan apakah kenaikan CHT ini mampu untuk menekan prevalensi orang merokok atau tidak. Sebab apabila dikorelasikan dengan data beberapa tahun yang lalu ia merasa tidak ada kesinambungan.
“Nah artinya, saya gak bisa langsung menyimpulkan bahwa kenaikan CHT tidak mempengaruhi prevalensi, tidak. Tetapi berarti dari data ini kenaikan CHT bukan satu-satunya instrumen untuk menurunkan prevalensi rokok, itu pasti. Karena data bilang gitu,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Enny menegaskan, kebijakan kenaikan tarif CHT ini tidak menjawab persoalan prevelensi rokok apalagi menjawab soal peningkatan penerimaan negara karena industri dihantam oleh kondisi pandemi.
Baca Juga: Turun 15%, pendapatan negara baru capai Rp 1.423 triliun hingga November
“Justru mendorong peredaran rokok ilegal yang akan memperlemah kinerja industri yang ujungnya berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Kalau 4 pilar itu tidak terjawab semua lalu kenaikan CHT ini untuk apa,” tukas Enny.
Hasil survei yang dilakukan oleh peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah, pun seperti menunjukkan hasil yang sama.
Dia mengatakan persentase perokok usia dini tercatat jumlahnya terus meningkat sejak tahun 2013. Pada saat itu, jumlah perokok usia dini sebesar 7,2% dan meningkat menjadi 8,8% di tahun 2016. Kemudian kembali meningkat ke 9,1% di tahun 2018.