Reporter: Grace Olivia | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Laju impor sepanjang Januari lalu berhasil ditekan. Meski neraca perdagangan masih mencetak defisit US$ 1,16 miliar, impor mengalami penurunan baik secara bulanan, maupun tahunan. Apakah kebijakan pemerintah mengerem impor mulai bergigi?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (15/2) lalu, nilai impor Januari 2019 mencapai US$ 15,03 miliar atau turun 2,19% dibanding Desember 2018. Demikian pula jika dibanding Januari 2018, impor turun 1,83%.
Adapun, seperti yang diketahui, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk menahan laju impor. Di antaranya, memperluas penggunaan campuran Bahan Bakar Nabati (BBN) berupa biodiesel sebesar 20% (B20) ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) serta menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor atau PPh pasal 22 kepada 1.147 barang konsumsi.
Kendati begitu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, penurunan impor yang terjadi sepanjang Januari belum dapat disimpulkan sebagai dampak langsung dari kedua kebijakan pemerintah tersebut.
"Kebijakan B20 itu ide yang sangat bagus, tapi sejauh ini kendala teknis di lapangan masih banyak. Pengguna solar juga masih sedikit yang beralih ke biosolar, sosialisasi penggunaan B20 oleh pemerintah kepada asosiasi maupun perusahaan juga masih minim, masih sebatas imbauan," ujar Eko, Minggu (17/2).
Begitu juga dengan kebijakan tarif PPh barang impor, Eko berpendapat, hanya sebagian kecil dari 1.147 barang yang berpengaruh pada impor barang konsumsi secara keseluruhan. Sebab, kebanyakan barang yang dinaikkan tarif PPh impornya tersebut bukan termasuk produk yang masif, kata Eko.
Di sisi lain, melambatnya laju impor barang konsumsi dan barang modal tak lepas dari geliat investasi yang masih landai. Sebelumnya, impor barang modal melonjak tinggi lantaran banyaknya proyek-proyek baru atau pembangunan pabrik baru yang membuat serapan barang modal menjadi tinggi.
"Sesuai dengan pernyataan BKPM, minat investasi baru di kuartal pertama ini masih wait and see jelang Pemilu, sehingga otomatis impor barang modal dan konsumsi tidak kencang," pungkas Eko.
Senada, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, menurunnya impor di Januari lalu lebih disebabkan oleh faktor musiman. Menurutnya, wajar jika di awal tahun pengusaha dan pelaku industri masih dalam mode mengelola persediaan barang, ketimbang menambah.
"Kecuali kita lihat satu atau dua bulan lagi semperti apa kondisi impor. Kelihatannya justru berpotensi naik lagi di Februari dan Maret karena importir memanfaatkan momentum penguatan rupiah," terang David, Minggu (17/2).
Di samping itu, David mengatakan, penurunan impor juga tak selalu berarti baik bagi perekonomian Indonesia. Jika impor barang modal dan bahan baku terus turun, hal tersebut bisa menjadi sinyal pembangunan yang melambat. Lantas, laju pertumbuhan ekonomi pun bisa terancam ke depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News