kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

IMF Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2022, Inbas Kenaikan Kasus Covid-19


Jumat, 25 Maret 2022 / 06:30 WIB
IMF Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2022, Inbas Kenaikan Kasus Covid-19


Reporter: Bidara Pink | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022. Lembaga tersebut memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini di kisaran 5,4% yoy, atau lebih rendah dari 5,6% yoy pada perkiraan sebelumnya.

IMF mengungkapkan salah satu penyebab penurunan perkiraan pertumbuhan pada tahun ini tak lepas dari peningkatan kasus harian Covid-19 varian Omicron di awal tahun. 

“Penularan varian Omicron pada awal tahun akan mengurangi potensi pertumbuhan pada kuartal I-2022,” tulis IMF dalam laporan bertajuk IMF Executive Board 2022 Article IV Consultation With Indonesia, seperti dikutip Kamis (24/3). 

Akan tetapi, IMF melihat dampaknya hanya sementara dan pemulihan akan berlangsung pada kuartal II-2022 seiring dengan pengurangan pembatasan mobilitas secara berkala, kebijakan para otoritas, dan peningkatan harga komoditas global. 

Sedangkan pada tahun 2023, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan bahkan bisa menyentuh 6,0% yoy. 

Baca Juga: Otoritas di China Minta Emiten Menyiapkan Keterbukaan Informasi yang Diminta SEC

Meski potensi pertumbuhan terus meningkat, tetapi IMF masih melihat ada beberapa risiko yang bisa memengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia, setidaknya dalam jangka pendek. 

Pertama, risiko buruk (the downside risk), dalam hal ini, masih ada potensi peningkatan kasus harian Covid-19. Belum lagi, ada risiko pengetatan di pasar keuangan global, seiring dengan peningkatan inflasi yang memicu negara-negara mengetatkan kebijakan moneternya lebih cepat dari perkiraan. 

“Reposisi yang dihasilkan oleh pelaku pasar dapat menyebabkan premi risiko yang lebih tinggi untuk kredit, ekuitas, dan mata uang pasar negara berkembang,” ujar lembaga tersebut. 

Kedua, kondisi yang menguntungkan (upside risk). Harga komoditas masih terdorong tinggi, sehingga ini bisa menjadi potensi bagi ekspor Indonesia yang kemudian akan membawa berkah bagi pergerakan pertumbuhan ekonomi. 

Ketiga, risiko perubahan iklim (climate change risk). Indonesia merupakan salah satu engara yang paling rentan terhadap bahaya perubahan iklim sehingga ini bisa memberi gangguan terhadap ekonomi dan tekanan fiskal. 

Indonesia juga sedang menghadapi risiko transisi untuk menuju perekonomian global yang lebih hijau. Ini bisa menyebabkan risiko aset yang terlantar, mengingat salah satu komoditas yang menjadi primadona Indonesia adalah batubara. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×