kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.909   21,00   0,13%
  • IDX 7.193   52,26   0,73%
  • KOMPAS100 1.105   10,19   0,93%
  • LQ45 877   10,63   1,23%
  • ISSI 221   0,76   0,35%
  • IDX30 448   5,44   1,23%
  • IDXHIDIV20 539   4,64   0,87%
  • IDX80 127   1,28   1,02%
  • IDXV30 134   0,28   0,21%
  • IDXQ30 149   1,42   0,96%

ICW : Perlu sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tak urus LHKPN


Minggu, 14 April 2019 / 14:22 WIB
ICW : Perlu sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tak urus LHKPN


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Corruption Watch ( ICW) menekankan pentingnya sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tak mengurus laporan harta kekayaan penyelenggara negara ( LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, penting bagi setiap instansi untuk memberikan sanksi tegas bagi wajib lapor LHKPN yang tak patuh. "Perlu ada sanksi administrasi yang tegas, misalnya penundaan gaji, penundaan promosi jabatan atau bahkan yang ekstrem bisa dibuat sanksi yang mengatur soal pemecatan bagi penyelenggara negara yang tidak patuh dalam laporan LHKPN setiap tahunnya," kata Kurnia dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (14/4).

Kurnia memaparkan data yang dihimpun ICW dari situs KPK per 8 April. Di tingkat eksekutif, dari 269.355 wajib lapor, 67.052 wajib lapor belum mengurus LHKPN. Di tingkat yudikatif, dari 23.710 wajib lapor, ada 9.232 wajib lapor belum melaporkan harta kekayaannya. Di legislatif, khususnya DPR, dari 554 wajib lapor, 241 wajib lapor belum mengurus LHKPN.

Kurnia menyangkan masih banyak wajib lapor yang belum mengurus LHKPN. Padahal, pelaporan harta kekayaan juga menjadi amanat Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Landasan pelaporan LHKPN juga sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016. "Terlihat sekarang dalam beberapa pemberitaan KPK seperti meminta kepada penyelenggara negara ayo dong lapor LHKPN kepada kita. Nah ini kan sebenernya paradigma yang salah seharusnya setiap penyelenggara negara yang mana dia bertindak berdasarkan aturan seharusnya itu dijadikan kewajiban hukum," kata dia.

Di satu sisi Kurnia juga menyoroti perlunya aturan lebih lanjut soal sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang tak bisa mempertanggungjawabkan hasil kekayaannya. Hal itu bisa dilakukan lewat kerja sama antara pemerintah pusat dan DPR.

Menurut Kurnia, diskursus pemidanaan penyelenggara negara yang tidak jujur dalam pelaporan kekayaannya sudah muncul sejak keberadaan United Nations Convention Against Corruption tahun 2003.

"Itu sebenernya sudah mengatur tentang pemidanaan yang dengan isilah hukum disebut illicit enrichment, ada peningkatan harta kekayaan tidak wajar, maka harus bisa dibuktikan oleh penyelenggara negara. Jika tidak bisa dibuktikan, maka harta itu bisa dirampas oleh negara," katanya.

"Misalnya ada peningkatan laporan kekayaan yang signifikan dan mencurigakan, maka penegak hukum bisa menyeret orang itu ke persidangan untuk membuktikan apakah peningkatan harta kekayaan itu diperoleh secara sah atau tidak. Ini menjadi perdebatan panjang terkait tidak adanya sanksi tegas yang diatur negara," kata dia. (Dylan Aprialdo Rachman)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "ICW Tekankan Pentingnya Sanksi Tegas bagi Penyelenggara Negara yang Tak Urus LHKPN", 
JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch ( ICW) menekankan pentingnya sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tak mengurus laporan harta kekayaan penyelenggara negara ( LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, penting bagi setiap instansi untuk memberikan sanksi tegas bagi wajib lapor LHKPN yang tak patuh. "Perlu ada sanksi administrasi yang tegas, misalnya penundaan gaji, penundaan promosi jabatan atau bahkan yang ekstrem bisa dibuat sanksi yang mengatur soal pemecatan bagi penyelenggara negara yang tidak patuh dalam laporan LHKPN setiap tahunnya," kata Kurnia dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (14/4/2019). Kurnia memaparkan data yang dihimpun ICW dari situs KPK per 8 April. Di tingkat eksekutif, dari 269.355 wajib lapor, 67.052 wajib lapor belum mengurus LHKPN. Di tingkat yudikatif, dari 23.710 wajib lapor, ada 9.232 wajib lapor belum melaporkan harta kekayaannya. Di legislatif, khususnya DPR, dari 554 wajib lapor, 241 wajib lapor belum mengurus LHKPN. Baca juga: KPK Harap Pimpinan Instansi Bisa Tegas ke Wajib Lapor LHKPN yang Tak Patuh Kurnia menyangkan masih banyak wajib lapor yang belum mengurus LHKPN. Padahal, pelaporan harta kekayaan juga menjadi amanat Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Landasan pelaporan LHKPN juga sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016. "Terlihat sekarang dalam beberapa pemberitaan KPK seperti meminta kepada penyelenggara negara ayo dong lapor LHKPN kepada kita. Nah ini kan sebenernya paradigma yang salah seharusnya setiap penyelenggara negara yang mana dia bertindak berdasarkan aturan seharusnya itu dijadikan kewajiban hukum," kata dia. Di satu sisi Kurnia juga menyoroti perlunya aturan lebih lanjut soal sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang tak bisa mempertanggungjawabkan hasil kekayaannya. Hal itu bisa dilakukan lewat kerja sama antara pemerintah pusat dan DPR. Menurut Kurnia, diskursus pemidanaan penyelenggara negara yang tidak jujur dalam pelaporan kekayaannya sudah muncul sejak keberadaan United Nations Convention Against Corruption tahun 2003. Baca juga: Ketua DPRD DKI: Dibilang Tak Satu Pun Laporkan LHKPN? Itu Tak Benar! "Itu sebenernya sudah mengatur tentang pemidanaan yang dengan isilah hukum disebut illicit enrichment, ada peningkatan harta kekayaan tidak wajar, maka harus bisa dibuktikan oleh penyelenggara negara. Jika tidak bisa dibuktikan, maka harta itu bisa dirampas oleh negara," katanya. "Misalnya ada peningkatan laporan kekayaan yang signifikan dan mencurigakan, maka penegak hukum bisa menyeret orang itu ke persidangan untuk membuktikan apakah peningkatan harta kekayaan itu diperoleh secara sah atau tidak. Ini menjadi perdebatan panjang terkait tidak adanya sanksi tegas yang diatur negara," kata dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "ICW Tekankan Pentingnya Sanksi Tegas bagi Penyelenggara Negara yang Tak Urus LHKPN", https://nasional.kompas.com/read/2019/04/14/13505791/icw-tekankan-pentingnya-sanksi-tegas-bagi-penyelenggara-negara-yang-tak-urus.
Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
Editor : Krisiandi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×