Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga tumbuh stabil di 5% tahun-ke-tahun dan berkontribusi 2,75 poin % pada pertumbuhan utama. Walaupun kinerja ekspor menurun, netto ekspor berkontribusi 0,6 poin % pada keseluruhan pertumbuhan. Belanja konsumen juga mulai terlihat adanya tanda peningkatan, dengan konsumsi pemerintah yang menyusut sebanyak 1,9% tahun-ke-tahun.
Terlepas dari pemotongan suka bunga berturut-turut yang mengejutkan oleh Bank Indonesia (BI), salah satunya keputusan 7-Day Reverse Repo Rate di September yang menurunkan suku bunga acuan dari 4,75% menjadi 4,25%, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap lamban dengan pertumbuhan nyata Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di 5% tahun-ke-tahun pada kuartal kedua 2017.
Menurut BI, adanya ruang pelonggaran kebijakan moneter disebabkan oleh inflasi rendah, defisit transaksi rendah (current account deficit) dan pengurangan risiko eksternal. Selain itu, BI juga belum menghapus kemungkinan adanya kelonggaran lebih lanjut, walaupun akan tetap memantau risiko eksternal dan stabilitas mata uang Rupiah.
“Kami tidak mengharapkan adanya pemotongan suku bunga lebih lanjut dan akan mewaspadai kondisi eksternal yang mungkin kurang menguntungkan ketika The Fed (bank sentral Amerika Serikat) mulai menormalkan neraca keuangannya dari Oktober,” kata Priyanka Kishore, ICAEW Economic Advisor & Oxford Economics Lead Economist dalam keterangan tertulis kepada KONTAN pada Kamis (12/10).
Priyanka melanjutkan diperlukan kondisi politik yang lebih baik dan peningkatan permintaan domestik lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan hingga 6%. Target defisit anggaran tahun depan yang ambisius sebesar 2,2% dari PDB juga menimbulkan sejumlah risiko terhadap perkiraan pertumbuhan 2018 kami.
Sisi positifnya, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan diuntungkan dengan adanya tekanan inflasi yang meredam dan biaya pinjaman rendah yang secara bertahap mendukung ekonomi. Selain itu, pemulihan harga komoditas yang moderat berdampak positif untuk sebuah negara seperti Indonesia yang sangat bergantung pada komoditas ekspor.
Sisi positif lainnya adalah prospek cerah pada investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI). Pada awal tahun ini, peringkat kredit Indonesia ditingkatkan oleh Moody’s (dari positif menjadi stabil) dan S&P (dari BB+ menjadi BBB-).
Perkembangan ini seharusnya dapat memacu arus masuk investasi, dengan pertumbuhan investasi yang sudah melonjak hingga 5,4% tahun-ke-tahun dari 4,8% di kuartal pertama (bangkit kembali di atas 5% untuk pertama kalinya dalam 6 kuartal terakhir).
Beragam paket kebijakan ekonomi telah diumumkan tahun lalu oleh pemerintah yang diharapkan dapat memulilhkan kepercayaan investor pada Indonesia dan mengangkat FDI lebih jauh – yang terlihat sempat melemah pada tahun 2015.
Di sisi lain, data perdagangan menunjukkan pertumbuhan yang melambat, sejalan dengan perdagangan dunia yang menurun dan penyesuaian kinerja impor yang menjadi lebih stabil setelah kemeriahan Ramadan.
Maka dari itu, berubahnya haluan pertumbuhan impor menimbulkan kekhawatiran atas prospek BDP, terutama karena rincian nominal menunjukkan perlambatan yang lebih signifikan dalam konsumsi dan impor barang modal dibandingkan impor bahan baku
“Kami berharap adanya peningkatan pada pembelanjaan infrastruktur, yang bisa mendorong pertumbuhan di paruh kedua tahun ini. Meskipun prospek 2018 dipengaruhi oleh rencana anggaran yang baru saja dirilis. Melihat ke depan, tren ekonomi yang beragam ini berarti kita harus tetap waspada dan membatasi prediksi kami akan pertumbuhan PDB untuk Indonesia di 5,1% pada 2017," terang Mark Billington, Direktur Regional ICAEW Asia Tenggara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News