Reporter: Noverius Laoli | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - Meskipun menui pro dan kontrak, Kementerian Perdagangan (Kemdag) tetap mengetok palu dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras untuk wilayah Pulau Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat, HET beras medium ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kilogram (kg). Sedangkan untuk jenis beras premium Rp 12.800 per kg. Harga ini lebih tinggi dari angka HET sebelumnya Rp 9.000 per kg. Sementara daerah lain ditetapkan HET berbeda-beda dan rata-rata di atas daerah sentra penghasil beras.
Industri penggilingan beras, skala kecil maupun besar akan menjadi salah satu pihak yang langsung merasakan dampak kebijakan ini. Dalam beleid ini, industri penggilingan skala kecil tidak mendapatkan keistimewaan dibandingkan dengan industri penggilingan beras skala besar atawa jumbo. Karena itu, kedua industri penggilingan padi ini akan bersaing memperebutkan gabah dari petani. Dalam persaingan ini, tentu saja industri skala besar dengan modal jumbo mampu menyerap gabah dan memproduksi secara efisien.
Industri penggilingan padi harus mampu mengolah gabah menjadi beras dengan biaya produksi di bawah HET hingga dijual di tingkat pedagang. Bila tidak, maka pabrik penggilingan beras akan kehilangan pendapatan malah akan bangkrut. Pengamat Pertanian, Husein Sawit mengatakan dengan adanya HET ini, mau tidak mau industri penggilingan beras akan berkonsentrasi memproduksi beras kaulitas rendah atau medium dibandingkan premium.
Untuk itu, pabrik penggilingan padi harus mendapatkan Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 3.700 per kilogram (kg). Namun pada saat musim gadu seperti sekarang ini, saat produsi GKP berkurang drastis, harga GKP di tingkat petani sudah mendekati Rp 5.000 per kg. "Agar bisa menjual beras di bawah HET ke pedagang, pabrik penggilingan beras harus mendapatkan harga GKP yang murah," ujarnya kepada KONTAN, Senin (28/8).
Upaya ini tentu saja penuh risiko, karena harus bersaing dengan industri penggilingan skala besar yang modalnya kuat dan mesinnya efisien. Untuk itu industri penggilingan kecil akan mengurangi penyerapah GKP supaya ia tidak menanggung risiko bila harga GKP masih tinggi. Bila hal itu terjadi, maka produktivitas mereka akan semakin anjlok. Sebab selama ini saja, rata-rata kapasitas terlantar mencapai 48%. Dan untuk pabrik penggilingan yang hanya menjual jasa giling beras saja kapasitas terlantarnya mencapai 68%.
"Dengan pertimbangan ini, saya prediksi akan banyak pabrik penggilingan kecil gulung tikar," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News