Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA) mencatat, terdapat empat komoditas yang kenaikan harganya lebih dari 10% di atas harga eceran tertinggi (HET) atau harga acuan pembelian (HAP).
Empat komoditas pangan tersebut ialah, jagung di tingkat peternak, garam konsumsi, beras medium di zona 3 serta telur ayam ras.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, saat ini pemerintah baru menetapkan cadangan pangan pemerintah (CPP) untuk beras dan jagung.
Bahkan CPP untuk jagungpun menurutnya masih kecil. Kemudian cadangan beras pemerintah juga terbatas karena pengadaan dari dalam negeri rendah. Sedangkan untuk garam dan telur, hingga saat ini belum ada penetapan cadangan pangan pemerintahnya.
Baca Juga: Badan Pangan Fasilitasi Distribusi Komoditas Pangan ke Wilayah Defisit
Dalam stabilisasi harga dan komoditas pangan menurut Khudori tak hanya mengandalkan pada cadangan pangan pemerintah. Ada faktor lain yakni data yang akurat dan terkini.
"Cadangan tidak berdiri sendiri. Yang tidak kalah penting adalah data yang akurat, terkini, dan terpercaya. Terutama data di pelaku usaha swasta, di gudang-gudang mereka. Baik data dari pembelian produksi domestik maupun impor," jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (29/5).
Jika pemerintah tidak memiliki data tersebut, Ia menilai akan sulit untuk melakukan pemantauan dan stabilisasi harga. Oleh karena itu, Khudori mengatakan data stok yang masuk administrasi pergudangan mesti ditata dan dibenahi.
"Setahu saya sudah ada Permendag tentang itu. Tapi sepertinya pemerintah masih belum mampu menegakkan regulasi ini dengan baik," ujarnya.
Kemudian, dalam jangka menengah, pemerintah perlu meningkatkan produk pangan yang dapat dihasilkan misalnya garam dan beras.
Sedangkan bagi komoditas yang masih memerlukan impor, pengaturan impor harus benar-benar dipastikan volume dan waktunya. Hal tersebut agar tidak menimbulkan masalah karena kelebihan volume atau tidak tepat waktu.
Di sisi lain, pemerintah harus memastikan impor tepat volume dan waktu agar tidak muncul gejolak atau kelangkaan. Saat ini dari persetujuan impor saja Ia menilai pemerintah masih lamban.
"Di sinilah penting pemerintah itu satu kata. Ini tidak mudah karena regulasi impor ini masih terbelah di sejumlah K/L. Kasus riil ya impor bawang putih. Di Kementan, RIPH sudah keluar pada Februari lalu, tapi surat persetujuan Impor (PI) nggak juga keluar-keluar. Yang keluar baru 37-an dari 170-an perusahaan yang ngajuin impor. Ini kan artinya pemerintah sendiri yang membuat masalah. Persetujuan izin lelet. Jangan disalahkan bila ada yang berpraduga bahwa pemerintah sengaja menciptakan ruang gelap untuk terjadi moral hazard dari regulasi yang terang benderang," ujarnya.
Baca Juga: Badan Pangan Nasional Ungkap 4 Komoditi Pangan Naik 10% Melebihi Harga Acuan
Meski demikian, Khudori menilai fasilitas distribusi pangan yang dilakukan Badan Pangan Nasional sudah baik. Namun, jika masih terjadi kenaikan yang tinggi, menurutnya upaya ini belum menyelesaikan masalah.
"Bapanas (Badan Pangan Nasional)memang sudah memulai langkah-langkah untuk menciptakan ekosistem yang baik. Tapi masih jauh dari ideal. Nggak bisa kayak membalik telapak tangan. Bapanas pun masih tergantung K/L lain. Misalnya, dalam kasus impor bawang putih ya tergantung PI dari Kemendag," tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, per 27 Mei kemarin harga jagung ditingkat peternak 24,78% lebih besar dari harga acuan pemerintah.
Kemudian garam konsumsi juga mengalami kenaikan 19,34% lebih tinggi dari harga acuan pemerintah. Ketiga beras medium di zona 3 naik 15,61% lebih besar dari harga eceran tertinggi. Keempat adalah telur ayam ras yang naik 14,39% lebih besar dibanding harga acuan pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News