Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ini peringatan serius bagi pemerintah! Di tengah melambatnya kinerja ekspor kita, satu per satu, komoditas ekspor unggulan Indonesia menghadapi rintangan di pasar ekspor.
Yang terbaru adalah: Uni Eropa yang akan memperketat syarat masuk kayu dan produk kayu asal Indonesia. Mulai 15 November, Uni Eropa mewajibkan adanya lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) untuk ekspor kayu.
Ini menyusul pengesahan sertifikasi FLEGT oleh Parlemen Uni Eropa 15 Agustus 2016 lalu. Lolosnya sertifikasi tersebut dari parlemen, para eksportir kayu (termasuk dari Indonesia) harus memiliki sertifikat FLEGT sebagai jaminan bahwa kayu yang diekspor ke Benua Biru itu legal.
Meski tujuannya baik, dampak pemberlakuan ini akan mengancam industri berbasis kayu di dalam negeri.
Abdul Sobur, Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) menilai, kebijakan ini bisa memukul eksportir kayu di sektor hilir. Pasalnya, industri harus menanggung biaya tambahan cukup besar.
"Biayanya meliputi pembuatan sertifikat, jasa konsultan, dan surveyor," katanya, Senin (21/8).
Sebagai gambaran, biaya minimal untuk mengurus sertifikasi ini diprediksi mencapai Rp 20 juta. Padahal, sebagian pelaku sektor hilir kayu adalah industri skala kecil dan menengah. Ini jelas mengerek biaya produksi sehingga membuat daya saing produk kayu Indonesia melemah.
Belum lagi jika industri tak mampu dan tertahan mengurus sertifikasi. Ekspor juga akan tertunda. Itu berarti, melepas peluang pasar yang telah ada di depan mata. Hambatan ekspor kayu ini menambah daftar panjang kendala ekspor unggulan Indonesia.
Amerika Serikat (AS) akan memperketat impor 17 produk jenis komoditas produk perikanan, termasuk tuna dan udang. Agar lolos ekspor, para eksportir wajib mengantongi sertifikasi Seafood Import Monitoring Program (SIMP) yang menjamin produk ikan itu aman.
Thomas Darmawan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia bidang Perikanan bilang, saat ini tren ekspor perikanan ke AS turun dan bisa kian anjlok.
"Hanya perusahaan besar yang bisa memenuhi sertifikasi ini," tuturnya.
Rencana delisting atau penghapusan rumput laut dari daftar pangan organik oleh AS karena mengandung carrageenan juga meresahkan. "Ini berpotensi diikuti negara tujuan ekspor lainnya," tutur Safari Azis, Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News