Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Keputusan pemerintah menaikkan Rp 1.000 per kilogram (kg) masih menyisakan tanda tanya. Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi menilai kenaikan LPG sudah direncanakan Pertamina sejak lama.
Memang kenaikan harga LPG 12 kg ini berdasarkan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang tertuang dari hasil audit BPK Semester I-2013 terhadap Pertamina untuk sektor gas. Hanya saja Uchok menilai rekomendasi tersebut tidak objektif. "Hasil audit BPK tidak objektif. Ini seperti pesanan saja," katanya dalam keterangan tertulis Kamis (16/1).
Selain itu, kenaikan ini juga menurut Uchok sudah diprakondisikan, agar porsi penjualan gas antara kebutuhan luar negeri dengan dalam negeri tidak berubah. Dimana pemerintah tetap mempertahankan porsi penjualan gas luar negeri tetap tinggi. Sementara dalam negeri dipatok rendah.
Berdasarkan data FITRA yang diperoleh dari Kementerian ESDM, porsi penjualan gas pemerintah pada 2012 untuk dalam negeri 40,7% dan untuk ekspor 59,3%. Akibat dari minimnya pasokan gas ini, membuat pasokan LPG untuk pasar dalam negeri sangat sedikit. Dengan begitu Pertamina bisa melakukan impor untuk memenuhi pasokan gas dalam negeri.
Seperti diketahui, awal Desember 2013 sebelum harga LPG dinaikkan, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan impor LPG hanya 20-30% dari kebutuhan. Namun, tiba-tiba pada awal Januari ini, Karen berujar bahwa impor LPG sebesar 70%.
Inkonsistensi ini, membuat FITRA meminta agar BPK untuk mengaudit lagi dengan benar jumlah impor LPG oleh Pertamina. "Apa benar impor sebanyak itu. Mengapa tidak konsisten, harusnya itu diaudit," tandasnya.
Bila Pertamina tidak punya data yang pasti mengenai berapa besar impor LPG yang dilakukannya, publik harus curiga, itu menunjukkan Pertamina tidak ada transparansi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News