Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para eksportir mengapresiasi rencana pemerintah melakukan kebijakan penyederhanaan prosedur ekspor terkait pengurangan komoditas wajib Laporan Surveyor (LS) dan pengurangan komoditas yang masuk dalam Larangan Terbatas (Lartas) Ekspor.
Namun, kebijakan tersebut dinilai bukan solusi bagi kinerja ekspor nasional untuk jangka panjang.
Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Benny Soetrisno berpendapat, niat pemerintah menyederhanakan prosedur ekspor merupakan langkah yang baik. Ia tak menampik, proses kewajiban LS selama ini memang memakan waktu dan biaya bagi eksportir.
Maka, kebijakan simplifikasi proses LS maupun pengurangan komoditas dalam Lartas ekspor pun dinilai dapat mempermudah eksportir ke depan. "Tapi kebijakan tersebut tidak sustain (dampaknya)," ujarnya, Minggu (27/1).
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia juga menghargai upaya pemerintah tersebut dalam rangka mendorong kinerja ekspor. Meski ia mengakui, sejauh ini prosedur LS di sektor pertambangan batubara berjalan baik.
"Meski di satu sisi ada eksportir juga berkewajiban untuk menaati LHV (Laporan Hasil Verifikasi) yang diatur oleh Kementerian ESDM, yang mana kedua laporan tersebut fungsinya dilaksanakan oleh perusahaan surveyor," ujar Hendra.
Adapun, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, persoalan proses dan regulasi memang merupakan aspek penting yang mesti diperhatikan untuk memperbaiki kinerja ekspor, di samping dorongan melalui insentif-insentif yang selama ini sudah pemerintah keluarkan.
"Kalau insentif itu sebenarnya pemerintah sudah kasih, ada tax holiday, tax allowance dan sebagainya. Tapi kalau prosesnya sulit, izinnya sulit, ya itu akan memengaruhi ekspor," ujar Shinta saat ditemui Kamis (24/1).
Namun, ia berharap agar pemerintah memantau setiap implementasi dari kebijakan dan insentif yang dikeluarkan di lapangan. Misalnya, memastikan sinkronisasi kebijakan antar-kementerian maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Selain itu, Shinta juga berpendapat, selanjutnya pemerintah juga harus fokus pada masalah akses pasar untuk para eksportir sebagai kebijakan yang bersifat lebih jangka panjang.
Yakni, secara intensif melakukan kesepakatan dengan negara-negara tujuan yang masih memberi tarif tinggi atau aturan yang menyulitkan.
"Banyak juga negara-negara yang tarifnya masih tinggi, nah, itu juga perlu perjanjian khusus dari pemerintah. Belum lagi memastikan produk kita punya daya saing karena percuma kalau kita gembar-gembor mau ekspor, tapi ternyata produk kita belum berdaya saing," tukas Shinta.
Pemerintah, lanjut Shinta, juga mesti tetap fokus memperbaiki pengembangan industri berbasis ekspor, terutama menentukan sektor maupun produk mana saja yang menjadi prioritas ekspor nasional.
Dengan perbaikan industri yang menyeluruh pada sektor-sektor prioritas tersebut, produk ekspor Indonesia yang dihasilkan pun bisa semakin kompetitif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News