Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Nilai rupiah yang begitu cepat melorot, bahkan kurs jual di beberapa bank dan money exchange mencapai Rp 11.000 Selasa (20/8), membuat banyak orang bertanya-tanya. Ada spekulasi kepanikan yang ditimbulkan oleh mendadaknya rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) pada Senin (19/8). Pasalnya, FKSSK yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan rapat pada kondisi ekonomi yang buruk.
Saya rasa itu tak perlu dikhawatirkan karena kan mereka rapat sebenarnya untuk mengantisipasi kondisi,” tutur Lana Soeliastianingsih Ekonom dari Samuel Sekuritas Indonesia. Menurut Lana, rupiah melemah dengan agak cepat minggu ini karena defisit neraca transaksi berjalan yang lebih besar dari perkiraan. “Neraca transaksi berjalan triwulan II ini defisit 4,4% padahal perkiraannya 3%,” terang Lana.
Sementara itu di sisi lain cadangan devisa Indonesia terus saja melorot. Posisi terakhir Bank Indonesia mengumumkan US$ 92,67 miliar. “Kedua kondisi ini akan membuat Bank Indonesia harus bekerja keras. Artinya, ada kemungkinan cadangan devisa tambah melorot,” tutur Lana.
Padahal secara teoretis pelemahan nilai rupiah sekarang ini masih bisa dianggap wajar. Misalnya dengan teori Purchasing Power Parity (PPP) dengan membandingkan inflasi Indonesia dan Amerika. “Kalau kita anggap inflasi Indonesia 9% sementara Amerika 2% maka ada selisih 7%. Jadi nilai rupiah memang akan terdepresiasi sekitar 7%,” terang Lana.
Selain itu ada juga interest rate parity, yaitu membandingkan suku bunga acuan Amerika (0,25%) dan Indonesia (6,5%). Selisih suku bunga dengan interest rate parity adalah sekitar 6,25%. “Tapi untuk para investor agak wajar kalau mereka minta return di atas selisih itu, mungkin sekitar 8%,” tambah Lana.
Masalahnya, pergerakan rupiah bisa banyak digerakkan oleh sentimen dan psikologis. “Anda tahu di tahun 2012 rupiah sempat melemah 7% lo. Tapi tidak terlalu terasa karena belum mencapai level psikologis 10.000,” tambahnya. Lain sekali dengan kondisi pelemahan sekarang, pada saat rupiah sudah menembus Rp 10.000, efek sentimen akan lebih banyak berbicara.
Tapi Lana masih optimistis rupiah tidak akan terus terpuruk dan di akhir tahun bisa kembali ke Rp 9.800-9.900 asalkan pemerintah bisa cukup menenangkan dan terbukti kredibel dalam menangani masalah ini. “Saat ini pemerintah harus memilih untuk mengorbankan rupiah atau pertumbuhan ekonomi, pilihan yang tidak enak memang,” terangnya.
Lana sendiri pemerintah bisa menjaga tingkat konsumsi domestik. “Perlambatan pendapatan dan inflasi tinggi bisa mengancam konsumsi domestik. Padahal selama ini, menurut Lana konsumsi domestik yang menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News