Reporter: Hans Henricus, Oginawa R Prayogo, Herry Prasetyo | Editor: Imanuel Alexander
Pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berpusat di Jawa. Pulau ini menyumbang pertumbuhan sebesar 57,5% di kuartal kedua tahun ini. Selain tidak merata, dampak pertumbuhan terhadap masyarakat secara keseluruhan terbatas.
“Good news,” begitu kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat membuka rapat kabinet terbatas di kantor Kementerian Pertanian, Senin (6/8) pekan lalu. Wajah SBY tampak sumringah. Maklum, pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini yang Badan Pusat Statistik (BPS) umumkan di hari yang sama mencapai 6,4%.
Ekonomi yang tumbuh lebih kencang ketimbang triwulan sebelumnya ini semakin membuat pemerintah optimistis bahwa target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 6,5% bakal tercapai. “Di kala dunia menghadapi kesulitan, ekonomi negara kita tumbuh 6,4%, tergolong tinggi,” kata SBY.
Tapi, masalahnya, pertumbuhan ekonomi yang terbilang tinggi itu tidak merata. Seperti biasa, Pulau Jawa masih mendominasi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Di kuartal dua lalu, kontribusi pulau dengan jumlah penduduk paling padat ini mencapai 57,5%. Sumatra ada di posisi kedua dengan yang berperan membentuk produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 23,6% (lihat tabel). Sehingga, “Pusat pertumbuhan kita memang masih tradisional,” ujar David Sumual, ekonom Bank Central Asia (BCA).
Suryamin, Kepala BPS, mengatakan, ada dua faktor utama yang mendorong laju pertumbuhan lebih banyak terjadi di Jawa. Pertama, konsentrasi penduduk Indonesia berada di pulau ini. Kedua, mayoritas kegiatan perdagangan dan industri juga bergerak di Jawa. “Jadi memang, kegiatan perekonomian kita masih tinggi di Pulau Jawa,” kata Suryamin.
Walaupun sumbangannya masih tinggi, Suryamin bilang, dominasi Jawa mulai berkurang dalam lima tahun terakhir.
Salah satu pemicunya adalah: pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan serta pelabuhan, yang menopang konektivitas ekonomi.
Alhasil, bakal terjadi penyebaran pusat-pusat kegiatan ekonomi ke luar Jawa. Suryamin mencontohkan, pada kuartal kedua tahun ini terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di Sulawesi. Penyulutnya: peningkatan kegiatan sektor pertanian dan pertambangan.
Menurut Prasetijono Widjojo, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dominasi Jawa dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional merupakan fenomena lama. Soalnya, lebih dari 50% sentra pertumbuhan sektor-sektor industri maupun jasa ada di pulau tersebut.
Selain itu, ya, itu tadi, hampir 80% dari 240 juta penduduk Indonesia bermukim di Jawa. Kondisi inilah yang memicu konsumsi yang tinggi di pulau itu. “Jumlah penduduk yang tinggi ini adalah kekuatan demand terhadap konsumsi,” imbuh Prasetijono.
Contoh, luas Papua mencapai 3,5 kali luas Jawa. Tapi, jumlah penduduk Bumi Cenderawasih hanya sekitar tiga juta orang. Kondisi ini tentu saja sulit untuk menciptakan demand yang tinggi. Ditambah lagi, konektivitas infrastruktur di luar Jawa terutama Papua belum memadai. “Di luar Jawa masih memiliki daerah remote yang banyak,” ujar Prasetijono.
Cuma, Agus Martowardojo, Menteri Keuangan, menuturkan, laju pertumbuhan di luar Jawa mulai meningkat dan ikut menolong pertumbuhan nasional. Menurut dia, setiap daerah memiliki sumber daya tertentu yang berpotensi menopang pertumbuhan nasional.
Apalagi, pemerintah pusat juga ikut membantu daerah untuk berkembang melalui transfer seperti dana bagi hasil sekitar 60% dari total APBN. “Kami harapkan, dengan upaya ini akan ada pertumbuhan yang merata,” kata Agus.
Rasio Gini naik
Cuma problem lainnya, dampak dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu terhadap masyarakat secara keseluruhan juga terbatas. Ironis sekali, di saat ekonomi kita terus tumbuh, ternyata justru ketimpangan pendapatan justru meningkat. Ini tampak dari pergerakan Rasio Gini, sebuah alat ukur statistik yang mengukur ketimpangan pendapatan masyarakat.
Data BPS menunjukkan, tahun 2002 angka Rasio Gini 0,32, lalu di 2010 naik menjadi 0,38, lalu naik lagi ke 0,4 pada 2011. Ini Rasio Gini tertinggi dalam sejarah Indonesia. Padahal, semakin Rasio Gini mendekati nilai 1, berarti makin timpang pendapatan masyarakat. “Artinya, pembangunan ekonomi Indonesia makin dinikmati sekelompok kelas ekonomi,” beber Destry Damayanti, Chief Economist Bank Mandiri. Jika ini terus terjadi, stabilitas sosial negara kita di masa depan bisa terganggu. Sebab, kesenjangan sosial juga kian lebar.
Bad news, dong?
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 46 XVI 2012 Laporan utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News