Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pelemahan daya beli yang terjadi saat ini tak mengganggu pertumbuhan pajak. Buktinya, setoran pajak pertumbuhan nilai (PPN) hingga Juni 2017 mencapai Rp 191 triliun atau naik sebesar 26,2% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Adapun PPh 25/29 wajib pajak orang pribadi naik cukup tajam mencapai Rp 5,8 triliun atau naik 55,5% dibandingkan dengan semester pertama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 3,7 triliun.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengatakan pertumbuhan sering tak sejalan dengan kondisi ekonomi.
“Misal, penjualan motor turun, tetapi ada satu perusahaan yang masuk, investasi, dan impor banyak. Otomatis penerimaan pajaknya besar, terlepas dari konsumennya ada atau tidak. jadi, memang harus dilihat satu per satu,” ujar Yon, Kamis (27/7).
Meski demikian, Yon mengamini adanya penurunan penerimaan pajak dari sektor properti, konstruksi, dan semen.
“Properti kalau gelondongan tumbuh, tapi ini karena ada satu dua Wajib Pajak yang baru investasi sehingga setoran didominasi oleh mereka. Yang lain-lain yang turun terkompensasi oleh mereka ini. Sama juga dengan ritel tadi, takutnya ada seperti itu,” jelasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, biasanya penerimaan pajak memang sejalan dengan kondisi perekonomian, namun tidak selalu. Dalam hal ini, ia melihat bahwa pertumbuhan pajak ini ditopang oleh sektor perekonomian lainnya yang bertumbuh.
“Yang didengar selama ini ritel saja, sementara sektor ekonomi ada dari pertambangan, pertanian, konstruksi, perdagangan, transportasi, jasa keuangan. Jadi, banyak sektor-sektor lain (yang positif), sehingga bila ada sektor yang mengeluhkan kelesuan, kami akan lihat sektor-sektor lainnya juga,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, kondisi makro dalam negeri baik, namun dari segi mikro jelek.
“Makro baik, mikro jelek. Ini adalah sebuah kendala. Semua sektor, ritel, properti di Indonesia juga masih dalam kendala. Penjualan mi instan saja turun 4%. Jadi, kalau udah pengaruh ke makanan minuman, sangat mengkhawatirkan kondisi mikro,” kata Shinta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News