Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Melemahnya nilai tukar rupiah sepanjang bulan November ini ternyata berdampak signifikan pada inflasi. Hal ini terkait barang-barang impor khususnya barang baku yang mengalami kenaikan harga.
Para ekonom pun memperkirakan inflasi bulan November akan ada dikisaran 0,1%-0,5%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan Oktober yang sebesar 0,09%.
Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, adanya ekspektasi dollar Amerika Serikat tembus ke level Rp 12.000 menjadi pemicu inflasi.
Hal tersebut akhirnya mendorong kenaikan pada komoditas industri. "Jadi persoalannya kan bahan baku industri mayoritas masih impor. Karena itu pelemahan rupiah berdampak signifikan ke industri komoditas," jelasnya. Enny memprediksi inflasi November bertengger di posisi 0,1%-0,2%.
Hal serupa diungkapkan Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko, yang ikut menyalahkan melemahnya mata uang garuda dalam sebulan terakhir sebagai kambing hitam inflasi.
Padahal, dari sisi bahan pangan cenderung stabil akibat kebijakan pemerintah yang menghapus kuotasi pada impor hortikultura. Prasetyantoko memprediksi inflasi November 0,5%.
Dalam hitungan Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, hanya harga cabai saja yang mengalami kenaikan tipis. Sedangkan bawang dan daging sapi cenderung turun. Yang jadi persoalan adalah pun impor bahan bakar minyak (BBM) yang masih tinggi.
"Walaupun konsumsi stabil, tapi produksi minyak Indonesia tidak cukup dan akhirnya harus impor," tambahnya. Meski begitu, David memprediksi, hingga akhir tahun inflasi ada di level 8,6%. Mengingat secara musiman, saat natal dan tahun baru terjadi peningatan inflasi.
Bank Indonesia sendiri memproyeksikan inflasi masih terjaga di posisi 0.05%-0,1%. Tapi Gubernur BI Agus Martowardojo pun mengingatkan, saat ini ada komponen inflasi tertunda. Hal ini disebabkan unsur subsidi yaitu harga pangan yang dituntaskan dengan impor.
Tapi Enny mengingatkan agar pemerintah dan BI harus mulai menenangkan pasar agar nilai tukar garuda kembali perkasa sehingga inflasi tinggi tak terjadi kembali.
"Tidak mungkin rupiah di bawah Rp 11.000 dan dalam periode tertentu di akhir tahun pasti ada yang di atas Rp 12.000," tambahnya.
Hingga saat ini, BI belum mempermasalahkan pelemahan rupiah. Alasannya, hal tersebut sudah sesuai fundamental ekonomi Indonesia yang memiliki masalah pada defisit transaksi berjalan dan defisit perdagangan.
Menteri Keuangan Chatib Basri pun menilai BI tidak perlu terlalu banyak mengintervensi nilai tukar rupiah untuk menjaga cadangan devisa. "BI cukup secara gradual saja masuk ke pasar," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News