kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom Indef proyeksikan rasio utang naik 43%-47% dari PDB di tahun 2021


Senin, 17 Agustus 2020 / 18:48 WIB
Ekonom Indef proyeksikan rasio utang naik 43%-47% dari PDB di tahun 2021
ILUSTRASI. Petugas memeriksa uang di 'cash center' Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis (21/2/2019). Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah hingga akhir Januari 2019 mencapai Rp4.498,56 triliun atau setara 30,1 persen produk domestik bruto (PDB). ANTARA FOTO


Reporter: Venny Suryanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah  memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat menjadi 38% pada tahun 2020.

Dikutip dalam keterangan Nota Keuangan dan RAPBN 2021, rasio utang pemerintah pada tahun 2019 adalah kisaran 30,2% terhadap PDB. Adapun rasio utang tahun 2020 meningkat 7,8% jika dibandingkan dengan tahun 2019.

Bhima Yudhistira, Ekonom Indef melihat, dengan estimasi PDB yang tumbuh negatif -4% maka proyeksi PDB harga berlaku adalah Rp15.200 triliun tahun 2020.

Sementara itu, untuk asumsi total utang pemerintah, menurutnya dapat mencapai hingga Rp 6.000 triliun di akhir tahun 2020.

“Sehingga proyeksi rasio utang mencapai 39.4% di 2020,” terang Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (17/8).

Baca Juga: Rasio utang pemerintah tahun 2020 diprediksi naik menjadi 38% terhadap PDB

Adapun, Bhima juga memproyeksikan, di tahun 2021 dengan proyeksi pertumbuhan - 1% maka rasio utang juga diperkirakan naik hingga 43-47% dari PDB.

Sehingga, menurutnya, untung menekan rasio utang, pemerintah perlu melakukan renegosiasi utang khususnya bilateral dan multilateral.

“Banyak negara yang meminta pengampunan atau write off utang pada lembaga ataupun negara lain dengan alasan pembayaran cicilan dan bunga di realokasikan untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Kenapa Indonesia tidak mulai mengajukan skema ini? Saya rasa sangat mungkin dilakukan untuk kurangi debt burden ratio,” tambahnya.

Apabila tidak dilakukan, maka pemerintah perlu mewaspadai terjadinya fluktuasi nilai tukar di tahun 2021. Hal ini dinilai dapat menjadi tambahan beban bagi kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang jatuh tempo.

Selain itu dalam program PEN yang sebagian dibiayai dari utang, porsi bantuan justru lebih dominan untuk konsumtif seperti bansos dan perlindungan sosial lainnya.

“Ini artinya pemanfaatan utang untuk kegiatan yang produktif jadi sangat terbatas. Sementara penerimaan pajak diperkirakan akan rendah,” katanya.

Sehingga, menurutnya secara otomatis pemerintah akan gali lubang dan tutup lubang yang lebih lebar bahkan tidak hanya untuk tahun fiskal 2021 namun juga di tahun 2022 dan seterusnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×