Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menargetkan peringkat kemudahan investasi ease of doing business (EoDB) ada di posisi 60, naik dari tahun sebelumnya yang berada di posisi 73. Optimisme pemerintah juga sejalan dengan adanya UU Cipta Kerja.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pesimistis Indonesia bisa masuk di posisi 60 EoDB. Menurutnya masih perlu ada perbaikan dari pemerintah untuk mencapai target tersebut dan mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama. Setidaknya menurut Bhima Indonesia butuh dua sampai tiga tahun bisa masuk ke 60 besar.
Sebab, Bhima bilang, negara lain reformasinya lebih cepat dan fokus. Sebagai contoh Qatar potensial menyalip Indonesia karena terjadi kenaikan skor komponen perizinan mendirikan bangunan sebesar 12,1 dari 2019-2020. Meskipun Qatar diperingkat 77 dunia kemungkinan bisa ke peringkat 60 lebih besar dibanding Indonesia.
Selain itu, Bhima juga mencontohkan Vietnam yang tak kalah cepat lakukan reformasi, hampir seluruh komponen Vietnam naik kecuali masalah penyelesaian kepailitan yang turun tipis skornya 0,1. Vietnam ada diposisi 70 dunia. Selain itu, Bhima menyarankan agar pemerintah lebih baik berprogres dan terstruktur, misalnya menyalip Vietnam dulu.
Baca Juga: Bahlil optimistis kemudahan investasi Indonesia naik di peringkat 60
“Pemerintah tidak cukup hanya andalkan UU Cipta Kerja, karena banyak komponen lain yang tidak masuk dalam UU Cipta kerja seperti masalah perlindungan investor minoritas dan percepatan izin ekspor-impor. Trading across border Indonesia masih diposisi ke -116 dunia, kalah dibanding Vietnam di 104,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (28/7).
Lebih lanjut, Bhima mengatakan tantangan dari sisi pandemi Covid-19 membuat reformasi perizinan menjadi terhambat. Koordinasi pusat daerah misalnya dalam sosialisasi UU cipta kerja juga sosialisasi ke pelaku usaha terganggu karena pembatasan sosial.
Faktor lain muncul dari penyesuaian implementasi UU Cipta Kerja setiap daerah berbeda beda tergantung kapasitas sumber daya manusia dan komitmen kepala daerah. Hal ini membuat reformasi perizinan juga tidak merata progressnya, meski yang disurvei adalah Surabaya dan Jakarta.
“Kemudian rangking EoDB yang rendah ada di bagian transaksi perdagangan lintas batas, dimana kekhawatiran kendala pada sistem bea cukai beberapa waktu lalu ikut mengganggu kecepatan dan biaya transaksi ekspor impor,” kata Bhima.
Dengan begitu, Bhima bilang, yang perlu diperbaiki adalah komitmen dari pemerintah daerah meski sudah ada UU Cipta Kerja yang perizinannya banyak ditarik ke pusat tapi pemerintah daerah memegang kunci penyelesaian hambatan usaha di daerah.
Reformasi perizinan untuk aktivitas ekspor impor perlu didorong sehingga cost logistik jadi lebih murah dan waktu yang diperlukan untuk mengurus dokumen jadi lebih cepat. “Kan zaman digital jadi proses pre-clearance, customs-clearance dan post-clearance harusnya bisa dipercepat lagi,” pungkas Bhima.
Selanjutnya: Ekonom CORE beberkan tantangan penyaluran kredit keuangan berkelanjutan (ESG)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News