Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berhasil mengumpulkan penerimaan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto hingga akhir 2023 mencapai Rp 467,27 miliar sejak diberlakukan pada 1 Mei 2022.
Hanya saja, setoran khusus di tahun 2023 ini sedikit merosot yakni hanya terkumpul Rp 127,66 miliar jika dibandingkan dengan tahun 2022.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar juga sebenarnya mempertanyakan adanya penurunan setoran pajak kripto pada tahun 2023 di saat harga bitcoin mengalami kenaikan.
"Ini menarik sekali mengingat harga bitcoin selama setahun telah mengalami peningkatan sebesar 89,5%. Dengan harga yang naik tapi penerimaan yang lesu, artinya ada jumlah atau volume transaksi yang berkurang," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (21/1).
Baca Juga: Mengerek Setoran Pajak dari Bisnis Pinjaman Online
Menurut dia, memang ada beberapa permasalahan dalam penerapan pajak kripto, salah satunya adalah keberadaan exchanger ilegal. Artinya, banyak orang-orang yang melakukan transaksi melalui exchange ilegal guna menghindari pajak.
Oleh karena itu, dirinya menyarankan perlu adanya koordinasi antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menindak para exchanger ilegal yang merugikan penerimaan negara.
"Harusnya dengan harga kripto yang mulai naik, terutama di akhir tahun penerimaan pajak krito tahun 2023 harusnya meningkat," kata dia.
Baca Juga: Kemenkeu Raup Penerimaan Cukai Minuman Beralkohol Rp 8,1 Triliun Sepanjang 2023
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menambahkan bahwa memang saat ini masyarakat belum cukup memiliki awareness (kesadaran) yang baik terhadap industri kripto.
Pertama, lantaran di Indonesia sendiri, kripto tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran yang sah layaknya mata uang. Melainkan, hanya dianggap sebagai aset digital yang digunakan sebagai investasi. Kedua, terkait pemahaman masyarakat mengenai kripto yang masih sepotong-sepotong terhadap teknologi kripto.
Ketiga, pemerintah sendiri saat ini terkesan belum serius mendukung perkembangan industri kripto. Meski sudah ada Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), namun kata Ariawan, sifatnya hanya mengawasi dan menjadi regulator saja.
"Nyaris tidak ada kampanye pengembangan industri kripto yang dilakukan. Mungkin karena pemerintah memandang industri ini masih fluktuatif sehingga dianggap rentan bagi masyarakat," katanya.
Baca Juga: Nilai Utang Meningkat, namun Rasio Utang Pemerintah Menyusut
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memandang bahwa penurunan setoran pajak kripto tersebut karena belum terjadi rebound kinerja dari beberapa aset kripto. Pasalnya, transaksi aset kripto mengalami penurunan yang cukup besar dari tahun 2022 ke 2023.
"Akibatnya, potensi penerimaan pajak dari keuntungan dan transaksi aset kripto menurun," terang Huda.
Sebagai informasi, pajak atas transaksi aset kritp baik pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN) telah dipungut sejak 1 Mei 2022 sejalan dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022.
Merujuk Pasal 21 beleid tersebut, PPh yang dipungut atas transaksi aset kripto ini ialah PPh Pasal 22 dan bersifat final. Apabila perdagangan aset kripto dilakukan melalui exchanger yang terdaftar Bappebti, maka PPh Pasal 22 final yang dikenakan sebesar 0,1%.
Baca Juga: Plus Pajak Hiburan, Pengusaha Hiburan Bisa Bayar Pajak 90% ke Kas Negara
Kemudian, jika perdagangan dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar oleh Bappebti, maka tarif PPh Pasal 22 final yang berlaku atas transaksi tersebut ialah sebesar 0,2%.
Adapun, penyerahan aset kripto melalui exchanger yang terdaftar Bappebti dikenai PPN sebesar 1% melalui tarif umum atau sebesar 0,11%.
Kemudian, jika penyerahan dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti, maka tarif PPN naik hingga 2 kali lipat dan menjadi sebesar 0,22%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News