kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45922,49   -13,02   -1.39%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dua ekonom ini beberkan dampak meningkatnya tensi AS-Iran ke Indonesia


Kamis, 09 Januari 2020 / 00:03 WIB
Dua ekonom ini beberkan dampak meningkatnya tensi AS-Iran ke Indonesia
ILUSTRASI. University students attend a protest against the U.S and Iran interventions, in Basra, Iraq January 8, 2020. REUTERS/Essam al-Sudani


Reporter: Umar Tusin | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Geopoltik Timur Tengah sedang memanas, menyusul serangan udara Amerika Serikat (AS) yang menewaskan Jenderal Iran. Serangan balasan Iran pun mulai dilakukan, dengan meluncurkan puluhan roket ke pangkalan AS di Irak.

Situasi ini langsung menyulut harga minyak dunia. Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan Indonesia crude price (ICP) akan turut naik sekitar US$60-US$65 per barel.

Josua menjelaskan jika panasnya hubungan AS dan Iran terus berlangsung, maka harga minyak akan naik dan mempengaruhi nilai rupiah.

Selain itu, harga minyak yang naik juga akan mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah (APBN). Lantara beban subsidi energi semakin besar.

Baca Juga: Pasca serangan Iran, Denmark tarik sebagian besar pasukan dari Irak

“Seandainya harga minyak sudah US$ 70 per barel, nilai rupiah akan melemah antara Rp 14.000-14.400,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Rabu (8/1).

Meski begitu, untuk saat ini Josua menganggap sentimen antara AS dan Iran tidak berpengaruh besar kepada neraca dagang dan hubungan Indonesia dengan negara-negara di timur tengah.

Bahkan, sudah ada komitmen investasi antara Indonesia dengan Arab Saudi. Josua menyampaikan, pemerintah seharusnya memperkuat fundamental ekonomi, demi menjaga nilai rupiah dan keseimbangan eksternal.

Baca Juga: Wall Street tersenyum, serangan Iran ke AS tak menakutkan seperti yang dibayangkan

Selaras dengan Josua, menurut ekonom Eric Sugandi, sentimen antara AS dan Iran akan lebih banyak berdampak kepada harga minyak dibandingkan jalur perdagangan bilateral Indonesia.

Mengingat saat ini Amerika adalah produsen minyak dunia terbesar setelah berhasil meningkatkan produksi shale gas.

“Jika terjadi eskalasi konflik yang berkepanjangan, harga minyak dunia bisa naik dan memberikan tekanan kepada defisit neraca dagang Indonesia, dengan hal tersebut subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan membengkak, dan APBN akan defisit,” ujar Eric kepada Kontan.co.id.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×