kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dua bulan tertahan di pedalaman Papua, warga Garut Ini minta dievakuasi Jokowi


Jumat, 29 Mei 2020 / 16:12 WIB
Dua bulan tertahan di pedalaman Papua, warga Garut Ini minta dievakuasi Jokowi
ILUSTRASI. Lima orang warga Cibatu Garut, tertahan di Papua sejak dua bulan lalu akibat tidak ada penerbangan sipil dari Papua, setelah ada pemberlakuan PSBB. Kelima warga ini berharap bisa dipulangkan ke Jawa.


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Tubuh Iwan Ridwansyah tergolek lemah di sebuah gubuk di lahan pertanian milik warga transmigran di Muara Tami, Jayapura, Papua. Lokasi gubuk ini sangat terpencil dari pemukiman penduduk setempat. Warga Kampung Cileles, RT 03 RW 04, Desa Cibunar, Kecamatan Cibatu, Garut, Jawa Barat, ini baru saja terserang malaria.

Beruntung masih bisa tertolong setelah rekan-rekannya dengan berusah payah membawa Iwan ke Puskesmas terdekat, dan mendapat bantuan kendaraan dari penduduk lokal. Iwan merupakan satu dari lima pekerja asal Garut yang mendapat borongan pembangunan kandang ayam di Papua. Kelima orang ini berasal dari satu kampung yakni, Iwan, Tatang Sukendar, Asep Kuswara, Mohammad Yusuf, dan Zaki. "Kami tertahan di Papua karena engak bisa pulang ke Garut. Tidak ada penerbangan sipil karena kebijakan lockdown dari Pemda Papua," kata Asep kepada KONTAN via WhatsApp, Jumat (29/5/2020).

Menurut Asep, saat ini, kondisi Iwan mulai membaik meski masih lemah dan belum bisa beraktivitas, hanya tidur-tiduran. Meski demikian, ancaman malaria ini saban hari selalu menghatui. "Pas dua hari sebelum Lebaran, dia tidur sore hari karena sambil nunggu berbuka puasa. Malamnya mulai tersana panas dingin dan dikira masuk angin. Dua hari berikutnya tambah parah, engak mau makan. Minum pun tidak, bahkan muntah-muntah.  Menggigilnya sampai kencang, makanya kami bawa berobat. Ternyata setelah diagnosa terkena malaria," ungkapnya.

Asep menuturkan, hampir dua bulan terdampar di Papua. Ia bersama rekannya berangkat ke Papua pada 2 Maret 2020 lalu. Selain empat rekan sepekerjaan di proyek borongan kandang ayam milik warga setempat, ada sekitar 100 warga lainnya asal Garut yang nasibnya sama terkatung-katung. "Selain tim saya, ada tukang gordyn, tukang cukur dari Banyuesmi dan lainnya, semua ingin pulang," terang dia.

Warga pekerja dari luar dan terdampak Covid-19 tidak bisa pulang kampung akibat penutupan transportasi udara, laut, dan darat yang semuanya ditutup untuk angkutan orang. Kini,  kondisi sangat memprihatinkan. Pasalnya, sudah kehabisan bekal sedangkan dari pemerintah daerah juga tidak mendapat bantuan sosial lantaran penduduk pendatang.

"Kami semua atas nama warga Garut dan Jawa Barat sangat terasa imbas dari kebijakan Provinsi Papua. Bekal hidup kami semakin tipis. Kegiatan usaha dan kerjaan semua terhenti dan kami pun enggak punya penghasilan lain. Menggunakan dana stok yang ada untuk menutupi beban hidup di sini.  Bantuan pun engak ada yang kami terima baik dari Pemprov Papua ataupun Jabar," jelasnya.

Asep pun bingung harus mengadu kemana karena berada di tengah perkebunan trasnmigran yang jauh dari pemukiman warga.  
"Sedangkan kami di Garut meninggalkan anak istri yang harus diberikan nafkah dan biaya hidup. Mungkin saya mewakili warga Garut yang mengungkapkan keadaan di sini  (Papua)," bebernya.
 
Asep bilang, pernah mengadukan kondisi tersebut ke Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, lewat akun media sosial tapi hingga kini tak ada respons. "Saya coba tag ke Pak Ridwan Kamil di Facebook, tapi enggak ada respon dan massanger pun tak dijawab. Sekarang, kami memohon kepada Bapak Presiden Jokowi untuk mengevakuasi kami dari Papua, karena sudah tidak sanggup lagi bertahan. Teman-teman kami sudah mulai stres. Kepada TNI/Polri juga tolong bantu kami bisa dipulangkan ke Garut," harap Asep.

Kepala Staff Kodim (Kasdim) 0611 Garut Mayor Inf. Hamzah Budi Susanto mengatakan, soal evakuasi warga Garut yang terjebak di Papua akibat pembelakuan PSBB harus dibicarakan dengan banyak pihak terkait implikasinya. Sebab, tidak menutup kemungkinan warga di daerah lain yang mengalami nasib serupa minta dievakuasi juga.  "Saya masih di Bandung, kalau pulang coba saya bicarakan dengan Pak Bupati atau dinas terkait. Kalau bisa kita punya data berapa banyak orang Garut yang punya masalah yang sama.Kalaupun ada upaya, pastinya ini akan menyebar ke daerah-dareah yang lain untuk minta dipulangkan juga," tukasnya.

Kontrak kerja putus
Tatang menambahkan, selama di Papua hanya menggarap pembangunan kandang ayam petelur selama satu serengah bulan, sesuai kontrak kerja borongan. "Bikin kandang ayam petelur dari bahan baja ringan ukuran 60 meter  x 12 meter dan tinggi atap 12 meter . Setelah 50 hari, pekerjaan beres dan berharap kami bisa pulang ke kampung halaman. Tapi ternyata keputusan Pemerintah Jaya Pura lebih dulu memberlakukan lockdown," keluhnya. Tatang bilang, untuk makan dan keperluan sehari-hari memakai uang dari hasil upah kerja itu. Untuk keperluan mandi dan kakus harus menumpang pada warga pendatang lainnya, yang sudah lama tinggal di Papua. "Kebetulan ada orang Jawa (Semarang ) yang baik hati. Mempersilakan MCK-nya untuk kami pakai bersama-sama," ujarnya

Demi menutupi kebutuhan dan bertahan hidup, Tatang berujar, mencoba cari kerja serabutan tapi itu juga tak mudah. "Bantu-bantu yang penting bisa makan aja dulu. Dana hasil upah kita sisihkan untuk beli tiket pulang. Jangan sampai terganggu. Kami di sini tidur pun numpang di pondok orang lain. Team kami pun mulai stres dan banyak yang sakit-sakitan. Kadang kami juga malu oleh orang yang pondoknya kami tinggali," akunya.

Tatang juga selalu meras khawatir dan tidak tenang ketika malam tiba. Pasalnya, dibayang-bayangi nyamuk malaria yang telah menyerang rekannya. "Tidur tidak nyenyak karena nyamuk yang menyerang kami begitu banyak jenisnya. Bukan hanya nyamuk malaria. Nyamuk kecil-besar dan warnanya pun macam-macam, ada yang putih. hitam, hijau dan lainnya. Makanya kami beli kelambu yang ukuran 2x2 meter dengan kapasitas dalamnya lima orang," jelas dia

Untuk membeli makanan dan bahan pokok pun butuh perjuangan, karena harus menempuh perjalan sejauh 10 kilometer. "Kami hanya makan cukup pake nasi dan mie instan saja. "Harapan saya untuk perintah terkait baik pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat soyogianya memperhatikan kami-kami ini. Karena kami bukan peduduk yang ber-KTP Jayapura, maka kami pun tidak pernah merasakan bantuan apapun," keluh Tatang.

Akibat tidak ada kejelasan hingga kapan bisa pulang kampung, Tatang mengaku lama-kelamaan uang untuk beli tiket habis juga untuk bertahan hidup. Di sisi lain, susah mendapatkan pekerjaan untuk sekedar makan.  "Sedangkan kami di sini tidak lagi punya kegiatan pekerjaan lagi karena kontrak kerja kami sudah putus.  Mohon denga sangat kami berikan solusi supaya kami bisa keluar dari Papua. Kami bisa berkumpul dan menjalankan lagi aktivitas di tanah Jawa. Sebab, kami juga di Jawa (Garut) meninggalkan pekerjaan yang belum selsai," harap Tatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×