kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Draf Perpres Pengelolaan DJP masih digodok


Kamis, 15 Januari 2015 / 10:17 WIB
Draf Perpres Pengelolaan DJP masih digodok
ILUSTRASI. Aplikasi ChatGPT yang Resmi Akan Rilis di Android, ini Link dan Cara Pre-Registration


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengusulkan kepada pemerintah untuk diberikan kewenangan khusus menjalankan institusinya. Kini, DJP tengah menunggu payung hukum yang digodok pemerintah terkait kewenangan khusus tersebut.

DJP menilai, kewenangannya saat ini sangat terbatas. Padahal, DJP diberi target besar untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Contohnya, dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun ini, penerimaan pajak dipatok lebih tinggi Rp 100 triliun dibandingkan dalam APBN 2015 sebesar Rp 1.380 triliun. 

Wahyu Karya Tumakaka, Direktur Penyuluhan dan Pelayanan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, menuturkan, payung hukum kewenangan khusus pengelolaan instansi pajak itu berupa Peraturan Presiden (Perpres). "Payung hukumnya Perpres," kata Wahyu, Rabu (14/1).

Dalam aturan itu, Ditjen Pajak mengusulkan perluasan ruang gerak yang mencakup empat hal. Pertama, perekrutan dan pemecatan Sumber Daya Manusia (SDM) di DJP. Dalam Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara,  kewenangan itu ada di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

Wahyu membeberkan, saat ini Ditjen Pajak hanya memiliki sekitar 30.000 pegawai. Ini jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pegawai pajak di negara lain. Contohnya, di Jerman, pegawai pajak mencapai 110.000 dan Jepang 80.000 orang. Keterbatasan jumlah pegawai ini dinilai sebagai ganjalan mendongkrak penerimaan pajak. 

Kedua, terkait dengan anggaran. Ketiga, berkaitan dengan infrastruktur. Keempat, kewenangan yang berkaitan dengan organisasi. "Kami perlu tambahan SDM dan tambahan gedung kantor di daerah, tapi terbatas. Kami juga terbatas menambah gedung kantor, karena harus minta persetujuan kementerian teknis terlebih dahulu," imbuh Wahyu.

Sebenarnya, lanjut Wahyu, kewenangan khusus tersebut pernah diminta Ditjen Pajak sejak Menteri Keuangan masih dijabat Sri Mulyani. Namun, saat itu pemerintah belum merespons permintaan Ditjen Pajak. Alasannya, kewenangan khusus tersebut belum terlalu mendesak.

Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi Perkumpulan Prakarsa menyambut positif adanya kewenangan khusus pengelolaan instansi bagi Ditjen Pajak. Dia bilang, pemerintah memang harus membuat terobosan untuk memperbaiki penerimaan pajak. 

Selain itu, diperlukan terobosan untuk memperkuat kelembagaan perpajakan yang kini menjadi sumber penerimaan utama negara. "Realisasi penerimaan pajak tahun 2014 hanya 91,75%. Sepanjang dua setengah dekade terakhir, pencapaian itu merupakan yang terendah sepanjang sejarah," kata Wiko.

Wiko menambahkan, pemerintah juga perlu membentuk sebuah lembaga independen yang langsung berada di bawah presiden. Fungsi lembaga ini nantinya fokus mengejar penerimaan negara. Misalnya, memisahkan Ditjen Pajak dan direktorat jenderal bea dan cukai dari Kementerian Keuangan. Sebab, kedua instansi itu ujung tombak penerimaan negara. "Sistem administrasi di Ditjen Pajak dan bea cukai harus diperbaiki," kata Wiko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×