Reporter: Dani Prasetya | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Pemerintah diberi waktu dua sampai tiga bulan untuk membereskan audit aset dan pembuatan neraca awal PT Kereta Api (Persero). Apabila setelah kurun waktu itu ternyata evaluasi menunjukkan hasil yang tidak memuaskan maka Komisi V DPR akan menggunakan hak politisnya untuk menyelesaikan persoalan itu.
"Kami akan gunakan hak politis kami apabila pemerintah tidak bisa bereskan soal audit ini dalam dua sampai tiga bulan. Apakah itu interpelasi atau angket itu nanti dibicarakan," ungkap Anggota Komisi V DPR Abdul Hakim, di sela rapat panitia kerja (Panja) Perkeretaapian, Senin (13/6).
Sebagian besar Komisi V DPR telah mengajukan usulan penggunaan hak angket atau interpelasi karena sejak pertama kali diterbitkan pada April 2007 lalu, Kementerian Perhubungan belum juga menyelesaikan masalah tercecernya pencatatan aset milik pemerintah dan PT Kereta Api.
"Malah banyak barang yang diberi pemerintah pada PT Kereta Api itu tidak tercatat. Jadi ini benar-benar berantakan," katanya.
Sebagai informasi, pemerintah belum berhasil menyelesaikan tugas audit aset dan pembuatan neraca awal bagi PT Kereta Api yang menjadi amanat Undang-undang No 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Selama tenggat waktu sejak regulasi itu diterbitkan pemerintah baru mencapai tahap pencatatan aset.
"Sampai saat ini pun audit belum jelas nasibnya. Makanya sampai sekarang neraca awal belum dibuat," ujar dia. Akibat belum rampungnya audit aset itu maka PT Kereta Api pun belum dapat dihapuskan problem masa lalunya. Perusahaan pelat merah itu pernah dibayang-bayangi tidak produktifnya aset yang dimiliki. "Makanya karena belum bisa buat neraca awal maka pemerintah belum bisa cut off masa lalu PT Kereta Api," katanya.
Lantaran masih berantakannya catatan aset milik pemerintah dan PT Kereta Api itu maka DPR pun tidak dapat mengetahui kondisi keuangan badan usaha milik negara (BUMN) transportasi itu. "Aset yang dibeli pemerintah itu menggantung statusnya. Kalau begini, sehat atau tidaknya PT Kereta Api tidak tahu," jelasnya.
Seharusnya, lanjut dia, setiap barang yang diberikan oleh pemerintah dicatatkan sebagai penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN. Hal tersebut agar tidak menimbulkan permasalahan akibat status barang tidak sesuai dengan catatan. "Jangan asal memberi. Jadinya seperti ini catatan acak-acakan," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News