Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Lamgiat Siringoringo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah perlu berhati-hati saat ingin menertibkan praktik predatory pricing di e-commerce. Karena langkah pemerintah malahan bisa berujung penurunan tingkat konsumsi masyarakat.
Pasalnya selama ini tingkat konsumsi masyarakat dibantu juga oleh pembelian masyarakat melalui e-commerce. Nah, dimana masyarakat selalu melihat diskon yang diberikan oleh pelaku e-commerce. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebut promo atau diskon dapat memacu konsumsi. Meski tidak besar, tetapi pemerintah dinilai tidak bisa melarang sebuah perusahaan memberikan diskon dan memang kebijakan diskon tidak akan bersifat terus menerus.
Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebut sejak pandemi berlangsung, penjualan UMKM di e-commerce naik hingga 26% dan mencapai 3,1 juta transaksi per hari. Data dari Bank DBS Indonesia juga menunjukkan bahwa pembelian melalui e-commerce naik hingga 66 persen di masa pandemi. Survei yang dilakukan pada Q2 2020 tersebut melibatkan 545 responden di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Bukan cuma dari sisi konsumsi masyarakat. e-commerce juga memacu pertumbuhan pengusaha baru di Indonesia. Survei dari Badan Pusat Statistik tahun 2020 dimana setiap tahun terjadi peningkatan jumlah usaha yang baru beroperasi. Tercatat 45,93% usaha baru mulai beroperasi pada rentang tahun 2017 - 2019. Sebanyak 38,58% usaha sudah memulai usahanya pada rentang tahun 2010 - 2016, dan hanya 15,49% usaha yang sudah beroperasi lebih dari sepuluh tahun. Artinya setiap tahun ada penambahan jumlah pengusaha baru melalui e-commerce.
Makanya Piter menilai pemberian diskon terhadap suatu barang baik di pasar modern seperti mal atau e-commerce tidak bisa disebut sebagai predatory pricing. Promosi atau diskon semata-mata dimaksudkan untuk menarik minat beli masyarakat.
“Bukan di e-commerce-nya yang kemudian dikenakan peraturan, pintu impornya harus diyakinkan tidak ada praktik dumping, sehingga kalau semuanya benar tidak ada yang disalahkan," kata Piter melalui keterangan pers, Senin (8/3).
Karena itu, kata Piter, pemerintah perlu berhati-hati dalam hal ini terutama dalam merespons diskon harga di e-commerce. Pemerintah perlu memikirkan langkah yang tepat untuk memberikan solusi jika produk e-commerce dilarang memberi diskon.
Piter memahami maksud pemerintah membuat aturan predatory pricing itu untuk melindungi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Indonesia. Akan tetapi, yang perlu dilakukan pemerintah justru mengevaluasi kebijakan importasinya. "Karena memberikan diskon tidak bisa disebut sebagai predatory pricing," kata Piter menambahkan.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengingatkan pemerintah jangan karena aturan tersebut justru membebani masyarakat yang juga konsumen sehingga menurunkan minat untuk berbelanja di e-commerce. Apalagi pemerintah sebenarnya fokus menumbuhkan industri ini dan memberi efek positif di banyak sektor.
“Yang logis jangan sampai justru membebani konsumen itu sendiri,” kata Tulus.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad juga menyebutkan pemerintah memang perlu menciptakan sebuah ekosistem yang mumpuni agar bisa UMKM dalam negeri bersaing dengan produk luar. Misalnya soal bahan baku dan logistic. “Negara lain mampu untuk menciptakan ekosistem yang bisa menghasilkan produk yang murah,” ujarnya.
Sebelumnya Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kementerian Perdagangan Nina Mora menyatakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) mengenai predatory pricing ini masih dibahas. Dia memastikan, pembahasan juga akan melibatkan KPPU dan stakeholders terkait, termasuk asosiasi e-commerce.
"Kami sedang dalam taraf koordinasi dengan KPPU, asosiasi e-commerce dan kementerian/lembaga terkait," kata Nina kepada Kontan.co.id, Jum'at (5/3).
Mengutip Kontan.co.id, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebut bakal menciptakan pelaksanaan tertib niaga yang baik. Salah satu hal yang akan diselesaikan Kemendag yakni berkaitan dengan predatory pricing di e-commerce.
Menurut Lutfi, predatory pricing adalah sebuah langkah atau harga yang sengaja disiapkan untuk menghancurkan kompetisi. Menurutnya, hal ini merupakan sebuah langkah yang dilarang dalam azas-azas perdagangan lantaran tidak memberikan manfaat dan tidak memberikan kesetaraan.
"Kemendag adalah wasit dan regulatornya, kita akan menjamin bahwa pasar ini adalah pasar yang adil, menciptakan perdagangan yang bermanfaat, bukan hanya untuk penjual namun juga pembeli," sebut Lutfi dalam Konferensi Pers Pembukaan Rapat Kerja Kemendag 2021, Kamis (4/3).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News