Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 2025 tentang Penyesuaian Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu tahun 2025 yang diundangkan pada 7 Februari 2025.
Melalui beleid itu, pemerintah memberikan keringanan iuran JKK sebesar 50% untuk industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kulit dan barang kulit; industri alas kaki; industri mainan anak; dan industri furnitur.
Diskon tersebut diberikan pada Februari sampai Juli 2025.
Baca Juga: Prabowo Beri Diskon 50% Iuran JKK untuk Industri Padat Karya
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai dengan adanya PP No. 7 Tahun 2025, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di enam sektor padat karya tersebut bisa diturunkan.
Seharusnya pemerintah juga meminta komitmen perusahaan yang mendapat diskon pembayaran iuran JKK 50% ini untuk tidak melakukan PHK.
Hal ini mengingat potensi PHK juga bisa dilakukan di perusahaan subkontrak dari perusahaan di enam industri padat karya tersebut.
Timboel juga menilai seharusnya perusahaan subkontrak yang mempekerjakan pekerja di bawah 50 orang juga dapat fasilitas diskon pembayaran iuran JKK sebesar 50% selama 6 bulan.
Baca Juga: Paradoks Ekonomi Indonesia, Hilirisasi Dimanjakan tapi Industri Padat Karya Dilupakan
“Kehadiran PP No. 7 Tahun 2025 adalah bentuk bantuan bagi cash flow industri padat karya di sisi hilir, bukan upaya untuk membenahi sektor padat karya di sisi hulu,” ujar Timboel kepada Kontan, Minggu (2/3).
Timboel juga berharap pemberian keringanan pembayaran iuran JKK ini dapat membantu menahan laju PHK di sektor padat karya. Walaupun itu berat bila di hulu tidak dilakukan perbaikan seperti membatasi secara signifikan barang impor, kemudahan mendapatkan modal dengan bunga rendah, dan lainnya.
“Pemerintah tidak boleh berhenti dengan memberikan diskon pembayaran iuran JKK, tetapi yang utama harus membenahi sisi hulu industri padat karya khususnya membatasi barang impor secara signifikan sehingga produk-produk lokal kita mendapatkan pasar yang berkualitas di dalam negeri,” jelas Timboel.
Selain itu, Timboel mendorong pemberian kemudahan akses modal serta upayakan pembukaan pasar ekspor di luar negeri bagi produk-produk sektor padat karya nasional.
Baca Juga: Insentif Industri Padat Karya, Aprisindo Minta Jangan Salah Sasaran
Timboel berharap industri padat karya bisa lebih baik lagi ke depan dengan perlindungan khusus dari pemerintah. Sehingga pembukaan lapangan kerja semakin besar untuk menurunkan tingkat pengangguran terbuka.
Mengacu pada publikasi BPS, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2024 mencapai 7,47 juta orang (4,91% dari total angkatan kerja).
Terjadi kenaikan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 270.000, dibandingkan Februari 2024. Posisi Februari 2024 tercatat pengangguran terbuka sebanyak 7,20 juta orang (4,80% dari total angkatan kerja).
Timboel menambahkan, peningkatan jumlah pengangguran terbuka ini dikontribusi oleh sektor padat karya, yang memang selama ini menjadi andalan Indonesia untuk pembukaan lapangan kerja formal.
Baca Juga: Insentif Industri Padat Karya Harus Tepat Sasaran
“Kalau pun nilai realisasi investasi terus meningkat, namun hal tersebut lebih pada realisasi investasi di sektor padat modal yang berbasis teknologi dengan penyerapan lapangan kerja yang terbatas juga,” pungkas Timboel.
Selanjutnya: 3thre_brothers Ubah Hobi Jadi Penghasilan bersama YouTube Shopping Affiliates
Menarik Dibaca: Jadwal Buka Puasa 2 Maret 2025 untuk Wilayah Jogja dan Sekitarnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News