Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyoroti poin kelembagaan BPJS Kesehatan pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
Dimana rencananya pada RUU tersebut pertanggungjawaban kelembagaan BPJS akan diubah menjadi kepada Presiden melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal saat ini pertangungjawaban BPJS Kesehatan menurut Ghufron langsung kepada Presiden.
Ghufron menyebut, BPJS Kesehatan diberikan tugas langsung oleh undang-undang dasar di pasal 34 ayat 2 yakni negara mengembangkan sistem jaminan sosial.
Pasal tersebut diterjemahkan dengan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kemudian diperkuat oleh UU No. 24 Tahun 2011 mengenai BPJS.
Ia menjelaskan, BPJS tak hanya mengenai kesehatan namun juga mengenai jaminan sosial ketenagakerjaan.
"Pertanyaannya sedikit aneh berbagai macam jaminan dan berbagai Kementerian ikut terlibat. Tapi kok masuknya di omnibus law kesehatan padahal ini untuk pekerjaan tenaga kerja untuk macam-macam, ini perlu didiskusikan," kata Ghufron dalam Diskusi Virtual, Jumat (17/2).
Baca Juga: Fraksi PKB Inginkan RUU Omnibus Law Kesehatan Akomodir Pemerataan Dokter
Kedua, pembiayaan BPJS Kesehatan merupakan iuran dari peserta. Artinya pembiayaan BPJS Kesehatan bukan berdasarkan pada APBN.
Meski terdapat kontribusi APBN untuk Peserta Bantuan Iuran (PBI) yang merupakan amanat UU. Namun, Ia mengatakan hal tersebut bukan berarti BPJS Kesehatan mengelola APBN.
"Ini dananya peserta hlo, kok dikelola atau secara kelembagaan harus laporan pertanggungjawabannya di bawah Kementerian. Yang sekarang BPJS itu bertanggung jawabnya langsung ke Presiden, Jadi Dirut BPJS itu langsung di bawahnya Presiden, sekarang hlo," imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa dana BPJS ialah dana milik peserta. Di mana BPJS Kesehatan diberikan amanah untuk mengelola. Total dana BPJS Kesehatan dulu ialah Rp40,7 triliun pada tahun 2014, sekarang telah meningkat menjadi Rp144 triliun di 2022. Dari total tersebut Non PBI ialah Rp81.5 triliun. Adapun PBI APBN Rp46 triliun dan PBI APBD Rp16,6 triliun.
"Dan Pak Sekjen (Kemenkes) berikan untuk penerima bantuan iuran (PBI) karena perintah undang-undang dan atas nama peserta. Kalau tidak ada peserta tidak mungkin APBN mengeluarkan uang. Kementerian Itu uangnya adalah uang APBN sedangkan BPJS itu bukan APBN. Dengan asuransi sosial itu iuran orang yang tidak mampu dibayarin oleh pemerintah, sedangkan pegawai negeri itu pemerintah sebagai pemberi kerja, sehingga basis keuangan adalah dana amanat milik peserta," tegas Ghufron.
Ia menjelaskan, dahulu memang BPJS Kesehatan pada tahun 1968 secara kelembagaan bawah Kementerian Kesehatan, yang bernama Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK).
Baca Juga: Omnibus Kesehatan
Kemudian berevolusi pada tahun 1992, dari Perum Husada Bhakti (PHB) berubah status menjadi PT Askes (Persero) dibawah BUMN. Hingga pada tahun 2004 melalui UU SJSN yang dikuatkan dengan UU No. 24 Tahun 2011 dengan implementasi pada 2014, BPJS Kesehatan bertanggungjawab langsung dibawah Presiden.
"Kalau kemudian kita kembali di tahun 1968 mundurnya itu luar biasa dan untuk proses sampai mandiri karena uangnya uang peserta itu memerlukan pengorbanan, ada pekerja lalu DPR waktu itu. Kalau ini kembali ke 1968 kok kerja puluhan tahun jadi kemunduran secara kelembagaan," jelasnya.
Poin selanjutnya yang disoroti oleh Ghufron ialah kewenangan memutus kerjasama dengan rumah sakit yang fraud harus izin melalui Kementerian. Padahal saat ini hal tersebut dapat dilakukan BPJS Kesehatan secara langsung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News