kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Diaspora tak perlu pulang asal tetap berkontribusi


Rabu, 25 Desember 2013 / 16:08 WIB
Diaspora tak perlu pulang asal tetap berkontribusi
ILUSTRASI. Emas batangan. Masih dalam Tekanan, Outlook Emas Diramal Baru Membaik pada Tahun 2023. REUTERS/Michael Dalder


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

SINGAPURA. Hingga tahun 2010, terdapat sekitar 180.000 orang Indonesia yang tinggal di Singapura dan banyak yang sudah cukup lama menetap. Sebut saja para pelajar peraih beasiswa. Setidaknya, butuh 4 tahun bagi mereka untuk menuntaskan pendidikannya, belum terhitung ditambah ikatan kerja yang minimal harus dipenuhi selama 3 tahun.

Lantas pertanyaannya, apakah mereka masih ingat akan tanah airnya, Indonesia? Apakah justru mereka terbuai dengan kenyamanan di Negeri Singa dan menjadi apatis dengan Sang Ibu Pertiwi?

Pertanyaan ini dilontarkan Mariana Widjaja dan Budi Yanto, moderator acara Global Indonesian Voices (GIV), Young Leaders’ Night, di Singapura, Minggu (22/12) malam lalu. Dengan tema "Membangun Tanah Air dari Dalam dan Luar Negeri", GIV, yang merupakan platform media komunitas online berbasis di Singapura untuk Diaspora Indonesia di seluruh dunia menggelar diskusi panel membahas apakah harus kembali ke Indonesia untuk membangun negeri ini.

Gloria Arlini, Co-founder Nusantara Development Initiatives yang berbasis di Singapura, menilai diaspora tidak perlu pulang ke Tanah Air selama bisa berkontribusi untuk Indonesia. "Sudah banyak inisiatif dari Diaspora Indonesia di Singapura untuk memberdayakan masyarakat kita, yang paling penting adalah ketulusan hati dan semangat pengorbanan," sebutnya.

Sementara Michael Victor Sianipar, staf khusus Wagub Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, berpendapat bahwa pertanyaan yang lebih tepat untuk ditanyakan bukan harus kembali atau tidak, melainkan bagaimanakah kita membangun, baik dari dalam maupun luar.

Mengangkat pengalamannya, Michael memutuskan untuk menunda studi hukumnya di universitas bergengsi di Amerika Serikat karena dia percaya dapat membawa perubahan dengan membantu Basuki.

"Saya sedang berada di kereta perubahan bersama Jokowi-Ahok dan kebetulan saya sedang di Tanah Air, jadi saya membangun dari dalam, rekan-rekan yang lain di luar negeri dan dapat juga berinisiatif," ucapnya.

Keputusan untuk pulang atau tidak ke Tanah Air selalu menjadi isu klasik bagi Diaspora Indonesia, bukan hanya di Singapura, melainkan di berbagai belahan dunia. Mantan Presiden BJ Habibie pernah berkata, "Bagaimana orang pintar mau pulang ke Indonesia kalau tidak ada lapangan pekerjaan di sana."

Mungkin kisah Gloria dan Michael bisa menjadi bahan pemikiran bagi diaspora yang tersebar di seluruh dunia. (Kontributor Singapura, Ericssen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×