Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Daya saing investasi Indonesia masih kalah saing dari Vietnam. Banyak faktor yang membuat investor lebih memilih ‘Negri Naga Biru’ ini sebagai pilihan penempatan investasinya.
Teranyar, Vietnam dikabarkan akan menaikkan tarif pajak menjadi 15% untuk perusahaan multinasional yang mulai berlaku pada 2024 mendatang. Meningkatnya tarif pajak ini mengikuti aturan global minimum tax.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan, penerapan pajak global minimum tax justru menjadi salah satu peringatan bagi Indonesia. Sebab, Vietnam saja meninggalkan rest to the button atau jor joran memberikan insentif pajak seperti tax holiday dan tax amnesty untuk menarik investasi.
Baca Juga: Ini 10 masalah ekonomi yang harus dibahas dalam debat capres pamungkas
“Jadi kelihatannya Vietnam ini mau bermain di level standarisasi yang lebih tinggi. Jadi investasi yang masuk ini investasi berkualitas, tidak hanya terpaku pada banyaknya insentif fiskal atau perpajakan yang rendah,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (29/11).
Bhima berpendapat, justru menjadi kelemahan jika Indonesia masih mengobral banyak insentif untuk menarik investor, serta belum menerapkan global minimum tax.
Selain Indonesia tidak bisa bersaing dalam hal investasi dengan Vietnam, justru Indonesia malah bersaing dengan negara-negara yang perekonomiannya berada di bawah Indonesia.
“Kita status negaranya upper middle income, tapi karena kita banyak memberikan insentif perpajakan jadi rest to the button. Kita malah bersaingnya dengan negara low income, seperti Srilangka dan Bangladesh,” ungkapnya.
Baca Juga: Pertumbuhan Produksi Manufaktur Menengah-Besar Melambat di Tahun Lalu
Maka dari itu, Bhima menyarankan agar pemerintah segera mengadopsi global minimum tax. Alasan lain karena global minimum tax ini juga didorong oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan G20.
Indonesia sebagai negara anggota G20 dan ingin segera bergabung dengan OECD, sebaiknya bisa mengaplikasikan standarisasi yang lebih tinggi, terutama untuk mencegah penghindaran pajak dan tidak hanya perang tarif saja.
“Justru Vietnam ini akan mendapat banyak limpahan investasi langsung dari negara-negara OECD karena dianggap standarisasinya hampir sama. Kita bukan merasa diuntungkan, jangan-jangan kita mau menerima investasi yang kualitasnya lebih rendah,” kata Bhima.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menambahkan bahwa daya saing investasi Indonesia hingga saat ini masih kalah jauh dari Vietnam.
Baca Juga: Memperkuat Logistik dan Daya Saing
Menurutnya, yang membedakan daya saing investasi Indonesia dengan Vietnam khususnya dalam konteks industri adalah persoalan harga tanah. Harga tanah di Indonesia dinilai kurang bersaing dengan yang ditawarkan di Vietnam.
Sebab, kepemilikan tanah di Vietnam banyak dikuasai oleh pemerintah, sedangkan Indonesia sebaliknya. Alhasil ketika suatu tempat akan dijadikan tempat pembangunan industri, harga tanah di wilayah tersebut bisa naik berkali lipat.