Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal II-2018 sebesar US$ 8 miliar atau 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Angka tersebut melebar dibandingkan dengan kuartal II-2017 sebesar 1,96%. Defisit ini juga lebih besar dibandingkan dengan kuartal I-2018 sebesar 2,2% atau sekitar US$ 5,5 miliar.
Project Consultant Asian Development Bank Institute Eric Sugandi mengatakan, meski data ini merupakan cerminan dari sesuatu yang sudah lewat. masih ada kemungkinan bisa menimbulkan dampak negatif pada rupiah.
“Ada kemungkinan dampak negatif dalam jangka pendek via persepsi pelaku pasar, tapi tidak lama karena ini data tentang sesuatu yang sudah terjadi,” kata Eric kepada Kontan.co.id, Minggu (12/8).
Ia mengatakan, tekanan terhadap rupiah sendiri ke depannya akan ditentukan oleh faktor eksternal. Yang paling anyar adalah tentang pelemahan lira Turki yang bisa tekan banyak mata uang emerging markets karena kepanikan investor global.
“Kemudian, kemungkinan naiknya US FFR, risiko eskalasi perang dagang oleh AS, dan lain-lain,” ujarnya.
Investor juga akan memperhatikan kondisi ekonomi domestik, yakni dalam hal apakah CAD masih tinggi pada semester II atau mengecil dan likuiditas valas di sistem perbankan Indonesia.
Untuk CAD di sisa tahun, Eric bilang, perlu segera mereprioritasisasi infrastruktur dan penundaan proyek-proyek yang tidak mendesak untuk bisa membantu menekan impor.
Sebab, ekspor sendiri sulit untuk dikendalikan lantaran variabel-variabelnya banyak ditentukan faktor eksternal, seperti harga komoditas atau produknya di pasar dunia, demand dari negara tujuan, nilai tukar, dan persaingan dengan produk sama atau serupa dari negara lain.
“Sementara dampak kenaikan harga minyak net-net akan menurunkan surplus neraca dagang barang secara keseluruhan dan berpotensi membuat CAD tetap besar,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News