Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Edy Can
JAKARTA. Mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Dahlan Iskan mengatakan, inefisiensi anggaran sebesar Rp 37,6 triliun bukanlah penyimpangan. Menurutnya, pemborosan anggaran terjadi karena PLN terpaksa menggunakan bahan bakar minyak untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas karena tidak mendapatkan pasokan gas.
Dahlan menjelaskan, temuan BPK itu menyatakan kebutuhan energi gas di delapan unit pembangkit PLN tidak terpenuhi. "Sehingga harus diaktifkan dengan high speed diesel atau minyak solar yang mengakibatkan biaya yang lebih mahal," ungkap Menteri BUMN ini dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Selasa (13/11).
Pemborosan anggaran itu terjadi dalam periode kepemimpinan dua orang direktur utama PT PLN. Periode pertama tahun 2009 dengan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar, BPK menemukan inefisiensi sebesar Rp 17,9 triliun. Sedangkan pada periode 2010 dibawah kepemimpinan Dahlan Iskan, BPK menemukan inefisiensi sebesar Rp 19,7 triliun.
Untuk mengatasi hal tersebut, BPK memberikan 18 rekomendasi. Masing-masing sebanyak tujuh buah rekomendasi ditujukan kepada Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Usaha Minyak dan Gas (BP Migas) yang merupakan rekomendasi terbanyak.
Selain itu, sebanyak empat buah rekomendasi BPK ditujukan kepada Menteri ESDM, tiga buah rekomendasi yang disampaikan kepada direksi Perusahaan Gas Negara, serta masing-masing satu buah rekomendasi BPK ditujukan kepada PT Rigas dan juga Menteri Badan Usaha Milik Negara dan juga Perusahaan Listrik Negara.
"Rekomendasi untuk PLN hanya satu buah yang bunyinya agar PLN mempercepat pembangunan yakni mempercepat pembangunan FSRU dan CNG di Bali," tandas Dahlan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Effendi Simbolon menolak penjelasan Dahlan. Menurut Effendi, hasil audit BPK memang belum menyimpulkan ada atau tidak perbuatan korupsi dalam inefisiensi PLN sebesar Rp 37,6 triliun. "Audit BPK belum menyimpulkan, kenapa bapak sudah menyimpulkan (tak ada korupsi)?" cecar Effendi.
Effendi mengaku diminta BPK memverifkasi temuan tersebut termasuk kepada Direktur Utama PLN saat itu. Dari verifikasi itu, BPK bisa menentukan sikap selanjutnya. Hasil verifikasi ini akan menentukan apakah DPR akan meminta BPK melakukan audit investigasi atau tidak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News