Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah menaikkan harga Pertamax di tengah kenaikan harga minyak dunia ternyata masih memberatkan anggaran negara.
Menurut Ekonom Senior Universitas Indonesia, Chatib Basri, saat ini, pemerintah masih harus menombok untuk subsidi harga.
Sebab, harga keekonomian BBM Ron 92 tersebut sudah mencapai Rp 16.000 per liter. Sehingga Pertamina harus menanggung selisih harga jual di tingkat SPBU yakni sekitar Rp 3.500 per liter.
Seperti diketahui, Pertamina resmi menaikkan harga BBM Pertamax mulai 1 April 2022. BBM Non Subsidi Gasoline RON 92 (Pertamax) disesuaikan harganya menjadi Rp 12.500 per liter (untuk daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor /PBBKB 5%).
“Kalau Pertamina nombok, nanti malah bakalan datang ke (pemerintah), akan bilang kalau uang-nya receivable tidak dibayar akhirnya tidak bisa distribusi BBM. Akhirnya tetap subsidinya ditanggung oleh pemerintah,” tutur Chatib dalam Indonesia Macro Economic Outlook 2022, Senin (4/4).
Baca Juga: Chatib Basri Perkirakan Konflik Rusia-Ukraina Berkepanjangan
Akan tetapi, mantan menteri keuangan ini juga menyebut, jika harga Pertamax dikerek ke Rp 16.000 per liter, maka akan menyebabkan inflasi yang tinggi, dan risiko lain adalah gap antara harga Pertamax dan BBM yang disubsidi membuat masyarakat pindah ke Pertalite.
Alhasil, subsidi energi juga kembali membengkak.
Chatib melanjutkan, Kementerian Keuangan harus menanggung beban dari adanya kenaikan Pertamax. Misalnya, dengan memberikan subsidi dalam bentuk targeted subsidi (atau masyarakat yang terdampak).
Lebih lanjut, Chatib bilang, kenaikan harga BBM ini memang tidak bisa dihindari. Sebab, ini terjadi bukan hanya di Indonesia saja, melainkan di global.
“Jadi kalay mempertahankan harga biasanya orang akan impor BBM, kemudian ekspor lagi, sehingga tidak bisa di kontrol,” pungkas Chatib.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News