Reporter: Nindita Nisditia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah sempat hampir menyentuh Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada awal pekan ini.
Ekonom Senior Chatib Basri mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah tak terlepas dari tekanan pasar keuangan global. Chatib menerangkan, saat ini pemegang obligasi di AS melihat penurunan risiko dari resesi.
Hal itu mengakibatkan suplai dari obligasi di AS naik, sementara permintaan mengalami penurunan, sehingga terjadi kelebihan pasokan dari obligasi.
Lebih lanjut, kelebihan pasokan obligasi ini mengakibatkan harga obligasi di AS turun tajam, sehingga yield obligasi di AS sempat naik hingga 5%. Kenaikan ini pun membuat The Fed mau tidak mau harus menaikkan kembali tingkat suku bunga mereka.
Baca Juga: Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Suku Bunga Acuan Membebani Pelaku Usaha
Alhasil, kenaikan suku bunga The Fed berimbas ke Indonesia, salah satunya pada opsi Bank Indonesia (BI) untuk membiarkan terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah.
“Kalau lihat kecenderungan yang terjadi di AS, maka dugaan saya bahwa interest ratenya masih akan naik. Jadi tingkat bunga masih akan naik, kemudian kita akan berhadapan dengan exchange rate yang mungkin akan melemah,” kata Chatib dalam kegiatan di BNI Investor Daily Summit 2023, Selasa (24/10).
Selain itu, mantan menteri keuangan ini menjelaskan, BI juga memiliki dua opsi lainnya dalam mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed, yakni menaikkan tingkat bunga, atau memperkenalkan capital flow management.
Namun menurut Chatib, depresiasi rupiah saat ini masih cenderung aman dalam sektor keuangan karena masih di level 2%, lebih kecil jika dibandingkan dengan ringgit Malaysia yang berada di level 8%.
Baca Juga: BI: Inflasi Inti Rendah, Bukan Berarti Daya Beli Lemah
“Situasi kita ngak seburuk yang terjadi 2013, saya ngak terlalu khawatir sebelumnya karena rupiah kita dibanding currency lain depresiasi sebetulnya relatif kecil,” kata Chatib.
Chatib menambahkan, ruang BI untuk melakukan depresiasi sebetulnya ada, dikombinasi dengan menaikkan bunga, serta makroprudensial di satu sisi aspek moneternya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News