kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Chatib Basri: Instrumen fiskal diperlukan untuk dorong permintaan domestik


Selasa, 10 Desember 2019 / 21:06 WIB
Chatib Basri: Instrumen fiskal diperlukan untuk dorong permintaan domestik
ILUSTRASI. M Chatib Basri


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum lama ini mengungkap data yang menunjukkan masih tingginya kredit perbankan yang belum ditarik debitur alias undisbursed loan sampai kuartal III-2019. 

Per akhir September, total kredit yang belum ditarik mencapai Rp 1.609,6 triliun atau 28,8% dari penyaluran kredit di periode itu yakni sebesar Rp 5.580,7 triliun. Posisi undisbursed loan perbankan per September 2019 tersebut naik sebesar 5,07% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy).

Ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan periode 20123-2014 Chatib Basri mengatakan, tingginya undisbursed loan saat ini terjadi di tengah tren suku bunga yang rendah. Penyebabnya, permintaan domestik yang tidak begitu kuat.  

Baca Juga: Jumlah undisbursed loan perbankan makin gemuk, kenapa?

“Logikanya sederhana saja, buat apa saya ambil kredit bank kalau barang yang saya produksi dan jual tidak ada yang beli?” tutur Chatib dalam panel diskusi Terobosan APBN untuk Indonesia Maju, Selasa (10/12). 

Dengan kondisi perekonomian dan tingkat permintaan yang melesu, Chatib mengatakan, di situlah peran instrumen fiskal menjadi sangat penting. Pemerintah melalui anggarannya belanjanya dapat mendorong permintaan, baik permintaan masyarakat maupun permintaan dari pemerintah itu sendiri. 

Konsep instrumen fiskal sebagai pendorong permintaan menurutnya berkebalikan dengan pepatah ‘hemat pangkal kaya’. Sebaliknya, yang berlaku adalah ‘belanja pangkal kaya’ atau juga dikenal dengan konsep kontrasiklus (counter-cyclical) di tengah perlambatan ekonomi.

“Karena kalau kita belanja, artinya akan ada permintaan. Permintaan ini pun akan direspon oleh dunia usaha dengan berproduksi, yang kemudian mendorong aktivitas ekonomi berjalan terus,” tuturnya. 

Fungsi counter-cyclical APBN memang memberikan imbas, terutama di tengah penerimaan negara yang tertekan seperti sekarang, yaitu defisit anggaran yang melebar. Tanpa kebijakan pelebaran defisit seperti yang ditempuh pemerintah saat ini, maka tak ada ruang untuk melakukan ekspansi fiskal yang dibutuhkan.

“Defisit kita sekarang naik dari sekitar 1,8% menjadi 2,2% (dari PDB). Sebetulnya menurut saya pribadi, sampai 2,5% pun tidak apa-apa karena untuk mendorong belanja,” kata Chatib. 

Baca Juga: Fasilitas kredit perbankan yang belum ditarik debitur meningkat

Namun, Chatib memberi catatan, pelebaran defisit anggaran juga mesti diiringi dengan evaluasi belanja negara (expenditure review). 

Menurutnya, jangan sampai belanja-belanja yang dilakukan pemerintah ternyata tak memiliki efek yang produktif terhadap pertumbuhan ekonomi atau belanja rutin semata. 

Dalam mengelola pembiayaan defisit anggaran, Chatib juga mengingatkan agar pemerintah memikirkan strategi penerbitan surat utang seimbang. 

“Ketika pemerintah terlalu banyak issue bond dengan imbal hasil yang memang biasanya lebih menarik dari deposito, maka dana akan berpindah dari perbankan ke pasar obligasi sehingga akhirnya bank jadi kesulitan menyalurkan kredit atau kita sebut crowding out,” tandas Chatib. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×