Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Tingginya utang luar negeri (ULN) khususnya ULN swasta membuat pemerintah bergerak membuat aturan. Kebijakan Debt Equity Rasio (DER) menjadi pilihan dan akan dibuat berdasarkan sektor.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, setiap sektor akan mempunyai karakter yang berbeda. Sektor yang rasio utangnya rendah adalah manufaktur. Manufaktur tidak memerlukan rasio utang yang tinggi.
Hal ini berbeda dengan sektor keuangan yang memerlukan rasio utang yang tinggi. "Intinya kita konsisten untuk jaga utang. Ini alat yang bisa digunakan kalau kita mempunyai kondisi bahaya untuk utang swasta," ujar Bambang kepada KONTAN beberapa waktu lalu.
Sekedar gambaran, dulu aturan DER sempat dikeluarkan pemerintah sekitar tahun 2000 dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Namun aturan tersebut tidak bertahan lama karena menuai protes dari berbagai kalangan pengusaha.
Waktu itu aturan DER alias utang berdasarkan modalnya adalah 3:1 dan berlaku untuk semua sektor. Artinya utang hanya boleh tiga kali dari modal. Dirjen Pengelolaan Utang Robert Pakpahan menjelaskan DER adalah upaya untuk mengontrol utang terhadap modal.
Dalam hal tersebut, sektor-sektor yang tidak memerlukan rasio utang tinggi seperti sektor berbasis padat karya seperti industri batu bata ataupun industri pakaian jadi. Sektor keuangan yaitu perbankan memang membutuhkan rasio utang tinggi karena meminjamkan kembali utang yang ia pinjamkan kepada nasabah.
Menurut Robert, yang perlu dimengerti adalah aturan DER tidak mewajibkan perusahaan pada sektor bersangkutan untuk tidak berutang melebihi rasio yang ditetapkan. Hanya saja apabila berutang melebihi rasio yang ditetapkan, maka kelebihan utang tersebut tidak dapat digunakan sebagai pengurang dalam biaya perpajakan yaitu pajak penghasilan (PPh) korporasi. "Mau langgar rasio yah tidak apa-apa, tapi bunganya tidak dikurangkan dari perhitungan PPh badan," tandas Robert.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News