Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Test Test
JAKARTA. Rencana Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga guna mengendalikan inflasi mendapat kecaman dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzzeta.
Paskah Suzzeta mengatakan bahwa upaya BI untuk mengendalikan inflasi masih klasik, yaitu hanya dengan melakukan pengetatan peredaran uang atau Tight Money Policy (TMP) termasuk menaikkan GWM (giro wajib minimum) bank-bank. "Saya khawatir kalau ini terjadi maka sektor riil akan macet karena suku bunga akan naik. Kita harapkan Bank Indonesia tidak mengendalikan inflasi dengan melakukan pengetatan uang," kata Paskah di Jakarta usai membuka seminar tentang reformasi birokrasi di Gedung Bappenas, Senin (4/8).
Paskah meminta BI memberikan prioritas kepada hal-hal yang sifatnya ekonomi masyarakat. Karena biasanya, BI selalu menggunakan instrumen TMP untuk mengendalikan
inflasi, yang malah menyusahkan masyarakat. "Indikasinya waktu pembahasan Rancangan APBN 2009, BI akan menaikkan suku bunga sampai 9%-9,5%. Ini enggak tepat, apalagi menjelang pemilu," katanya.
Paskah dengan tegas meminta agar BI tidak melakukan kebijakan pengetatan moneter (TMP). "Itu sangat berbahaya, bisa-bisa suku bunga perbankan naik lagi sampai 20%-21%," ujarnya. Paskah berharap sampai akhir 2009, BI tetap mempertahankan SBI dalam posisi tidak lebih dari 8,5%.
Senada diungkapkan oleh Kepala Ekonom BNI Tony Prasetyantono. Ia mengatakan setuju dengan permintaan Paskah tersebut. "Menaikkan suku bunga belum tentu efektif menekan inflasi, karena karakteristik inflasi kali ini lebih disebabkan oleh kenaikan harga komoditi di luar negeri yang menular ke dalam negeri (imported inflation)," kata Tony di Jakarta.
Bahkan, dia khawatir kenaikan suku bunga hanya akan menghambat sektor perbankan dalam berekspansi. Apalagi saat ini rupiah sedang berjaya pada kisaran Rp 9.050 dibanding Dolar Amerika dan capital inflow masih mengalir sehingga cadangan devisa tinggi (US$ 59 miliar). "Itu menjadikan alasan kuat untuk tidak memberlakukan tight money policy," ujarnya.
Di sisi lain, Paskah mengakui bahwa kenaikan harga BBM pada bulan Mei lalu telah membuat inflasi melonjak. BLT yang diandalkan pemerintah untuk menjaga daya beli
masyarakat juga belum menunjukkan keampuhannya secara keseluruhan. "Tetap ada hal-hal yang menjadi pemicu inflasi, karena daya beli masyarakat tidak bisa ditutupi
oleh BLT yang hanya Rp 300 ribu selama 3 bulan," kata Paskah.
Paskah meramalkan, hingga akhir tahun 2008 nanti tingkat inflasi yang tinggi tetap akan mewarnai ekonomi nasional, sehingga akumulasi yang akan dihitung pada bulan
Januari 2009 nanti akan cukup tinggi. "Bulan puasa, hari raya Idul Fitri, Natal dan tahun baru akan memicu inflasi yang cukup tinggi," ujarnya.
Paskah yakin, penyebab tingginya inflasi bukan disebabkan oleh hambatan distribusi. Namun, inflasi lebih disebabkan karena BLT belum bisa menanggulangi gab daya beli
masyarakat secara menyeluruh. Besarnya dana BLT sebesar Rp 100.000 per bulan dianggap kurang, karena kenaikan harga di sektor konsumsi dan konstruksi lebih
tinggi.
"Masih kurang lah, bayangkan saja dengan kenaikan BBM memicu kenaikan harga-harga konsumsi sektor konstruksi dan lainnya lebih tinggi. Di sektor konsumsi terjadi
kenaikan sekitar 3-4%," jelasnya. Walaupun pemerintah punya 2 instrumen untuk menekan tingkat inflasi dengan BLT dan raskin, namun dua-duanya belum bisa memenuhi
dan menekan inflasi yang terjadi. Untuk menghadapi inflasi terutama menjelang hari raya, maka pemerintah akan memperlancar distribusi terutama bahan konsumsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News