Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Narita Indrastiti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bakal calon wakil presiden Sandiaga Uno menuding Badan Pusat Statistik (BPS) dikontrol oleh pemerintah. Contohnya terkait data-data kemisikinan dan pengangguran.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, dalam menjalankan sensus dan survei, independensi adalah harga mati untuk BPS. Pemerintah, kata Suhariyanto, tidak pernah sekalipun mengintervensi BPS.
Ia menjelaskan, BPS mengumpulkan data lewat sensus dan survei dengan menggunakan konsep definisi dan metodologi yang mengacu pada manual dari PBB atau lembaga internasional. Oleh karena itu, Suhariyanto mengatakan, sensus dan survei BPS memotret fakta yang ada di lapangan.
“Data yang dirilis BPS ada yang menunjukkan keberhasilan program pemerintah, tetapi ada juga yang menunjukkan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan,” ujar dia kepada KONTAN, Kamis (30/8).
Berdasarkan pemberitaan-pemberitaan KONTAN sebelumnya, BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2018 hanya 5,13%, turun dari bulan Februari 2017 yang sebesar 5,33%. Data inilah yang dipersoalkan oleh Sandiaga.
Dari angka itu, sebanyak 6,87 juta penduduk masih menganggur. Jumlah itu turun dari sebelumnya 7,01 juta orang. Sedangkan jumlah angkatan kerja naik menjadi 133,94 juta orang, dari sebelumnya 131,55 juta orang.
BPS menyatakan turunnya angka pengangguran menjadi kabar menggembirakan. Namun masih ada catatan, yaitu, "Tingkat pengangguran di kota jauh lebih tinggi dari tingkat pengangguran di desa," kata Suhariyanto, Mei 2018 lalu.
Berdasarkan data BPS, pengangguran di perkotaan pada Februari 2018 mencapai 6,34%, sementara pengangguran di desa hanya 3,72%. Keduanya turun dari kondisi Februari 2017 yang masing-masing sebesar 6,5% dan 4%.
Selain catatan itu, pemerintah juga punya pekerjaan rumah yang besar terkait tingkat pendidikan tenaga kerja. Sebab, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi menurut pendidikannya, berasal dari penduduk dengan jenjang pendidikan terakhir Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sebesar 8,92%.
Pengangguran dari lulusan diploma I-III dan universitas juga terus meningkat. Pada Februari 2017, pengguran terbuka dari diploma I-III sebesar 6,35%, naik menjadi 6,88% di Agustus 2017 dan kembali naik menjadi 7,92% di Februari 2018.
Sedangkan pengganguran dari lulusan universitas di Februari 2017 sebesar 4,98%. Angka itu naik menjadi 5,18% di Agustus 2017 dan kembali naik menjadi 6,31% di Februari 2018. "Ini jadi PR bagaimana pemerintah menciptakan kurikulum yang mampu menjawab kebutuhan dari dunia kerja," tambah Suhariyanto.
Namun demikian, terkait data ini, Sandiaga mengatakan, banyak anak muda lulusan diploma dan sarjana yang terpaksa bekerja tidak sesuai dengan bidang dan kemampuannya.
"Kalau saya melihat, tentunya wajar pemerintah menyampaikan pencapaian-pencapaiannya. Tentu dengan data yang mereka kontrol," kata Sandiaga saat berkunjung ke Menara Kompas di Palmerah, Jakarta, Rabu (29/8).
Kemiskinan
Data lainnya yang dipersoalkan Sandiaga adalah data kemiskinan. Berdasarkan pemberitaan KONTAN sebelumnya, BPS mengumumkan, persentase kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 hanya 9,82%. Angka itu turun dibandingkan Maret 2017 dan September 2017 yang masing-masing sebesar 10,64% dan 10,12%.
Pada periode sama, jumlah penduduk miskin juga berkurang menjadi 25,95 juta penduduk, dibanding jumlah penduduk miskin pada Maret 2017 sebesar 27,77 juta, dan September 2017 yang sebanyak 26,58 juta penduduk.
Tak hanya itu, indeks kedalaman kemiskinan juga mengalami penurunan menjadi 1,71 pada Maret 2018, dibandingkan September 2017 yang sebesar 1,79. Indeks keparahan kemiskinan melorot menjadi 0,44, dibandingkan September 2017 yang sebesar 0,46.
Lalu, tingkat ketimpangan di Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini (gini ratio) pada Maret 2018 turun menjadi 0,389. Angka rasio gini ini merupakan posisi terendah sejak September 2011. Ini berarti tingkat ketimpangan antar penduduk menurun.
Walau jumlah penduduk miskin berkurang, Kepala BPS Suhariyanto mengingatkan masih banyak pekerjaan rumah terkait pengentasan kemiskinan. Utamanya, penurunan persentase penduduk miskin yang lambat pada dua tahun belakangan. Selain itu, jumlah penduduk miskin juga terbilang masih besar.
Belum lagi, masih ada disparitas kemiskinan yang tinggi antara di kawasan pedesaan dengan di kawasan perkotaan. Persentase penduduk miskin di pedesaan pada Maret 2018 mencapai 13,2%, hampir dua kali lipat dibanding di perkotaan yang mencapai 7,02%.
Rasio gini di pedesaan juga naik menjadi 0,324, dari Maret 2017 dan September 2017 0,32. Sedangkan rasio gini di perkotaan turun menjadi 0,401, terendah sejak September 2018. "Kita punya banyak PR bagaimana supaya kebijakannya tepat sasaran," jelas Suhariyanto saat paparan data kemiskinan pada Juli 2018 lalu.
Meski begitu, Sandiaga mempertanyakan patokan garis kemiskinan yang ditetapkan, yakni Rp 401.220 per kapita per bulan, atau sekitar Rp 13.374 per hari. Menurut dia, garis yang menjadi tolok ukur itu tidak realistis.
"Apa realistis orang di zaman sekarang bisa hidup dengan Rp 13.000 per hari?" kata Sandiaga.
Suhariyanto menjelaskan, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Metode yang dipakai BPS adalah metode yang dipakai sejak tahun 1998 dan tidak berubah agar hasil penghitungan konsisten dan
terbanding dari waktu ke waktu (apple to apple).
Ia melanjutkan, ukuran yang dipakai BPS terkait data kemiskinan adalah mengacu ketentuan Bank Dunia. Bank Dunia menggunakan perkiraan konsumsi yang dikonversikan ke dollar Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan kesetaraan (paritas) daya beli atau purchasing power parity (PPP) per hari, bukan dengan nilai tukar US$ resmi.
Angka konversi PPP sendiri adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa di mana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli sebesar US$ 1 di Amerika Serikat.
Batasan kemiskinan internasional yang digunakan oleh Bank Dunia, sendiri, dengan baseline 2011 sebesar 1,9 US$ PPP sebagai batas extreme poverty. Nah, perkiraan konversi 1 US$ PPP dengan baseline 2011 tersebut pada tahun 2016 adalah 1 US $ PPP sama dengan Rp 4.985,7.
Dengan demikian, posisi Garis Kemiskinan Nasional (GKN) terhadap US $ PPP tahun 2016 adalah Rp 364 527 per kapita per bulan setara US$2,44 PPP per hari. Adapun pada tahun 2018, GKN adalah Rp 401 220 per kapita per bulan setara US$ 2,50 PPP per hari.
Secara keseluruhan, BPS juga menjabarkan, maski kemiskinan turun ke satu digit, tetapi jumlah penduduk miskin masih tetap tinggi dan masih banyak PR yang perlu dikerjakan, di antaranya:
1. Disparitas tinggi antarprovinsi, DKI (3,57%) vs Papua (27,74%).
2. Disparitas tinggi antara kota dan desa, Kota (7,02%) vs Desa (13,20%).
3. 60,91% penduduk miskin berada di perdesaan.
4. Mayoritas penduduk miskin bekerja di sektor pertanian (49,90%).
5. Perlu penajaman rumah tangga sasaran dan meningkatkan efektivitas
dana desa lebih inklusif ke kegiatan produktif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News