Reporter: Tedy Gumilar | Editor: Edy Can
JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengingatkan pemerintah agar tidak terpaku pada volume BBM bersubsidi yang didistribusikan ke masyarakat. Sebab, meskipun volume BBM bersubsidi yang didistribusikan melebihi kuota yang telah ditetapkan, BPK menganggap tak jadi masalah bila anggaran subsidi masih ada.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 tentang APBN-P 2010, volume BBM bersubsidi ditetapkan sebanyak 36,5 juta kiloliter dengan jumlah anggaran subsidi sebesar Rp 88,9 triliun. Ambang batas atas asumsi harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price (ICP) yang digunakan adalah US$ 80 per barel.
Anggota BPK Ali Masykur Musa mengatakan, pemerintah harus memerhatikan bahwa APBN-P 2010 bertolak dari asumsi adanya paralelitas antara kuota, besaran anggaran, dan harga minyak mentah. Artinya, melihat kecenderungan harga minyak mentah dalam beberapa bulan terakhir di bawah US$ 80 per barel, kuota BBM bersubsidi sebanyak 36,5 juta kl tidak parallel dengan jumlah anggaran Rp 88,9 triliun. “Plafon anggaran subsidi diperkirakan akan sanggup membayar lebih dari kuota yang ditentukan,” tukasnya.
Karena itu, Ali menyatakan pemerintah tidak harus terfokus semata kepada volume kuotanya tetapi juga besaran anggarannya. Selagi masih dapat terbayar oleh plafon anggaran yang ada, kuota 36,5 juta kl bukanlah angka keramat yang tidak bisa diutak-utik. “Jangan sampai pembatasan konsumsi BBM justru menghentikan laju pertumbuhan ekonomi. Sebab BBM adalah engine of growth yang mempunyai efek berantai untuk perekonomian nasional,” kata Ali.
Selain itu, Ali mendorong pemerintah meningkatkan pengawasan distribusi BBM bersubsidi agar tidak salah sasaran dan efisien dalam menghitung subsidi sehingga alokasi subsidi dibelanjakan secara tepat bayar. Sebab, berdasarkan hasil audit BPK kurun waktu 2001-2008 menunjukan adanya koreksi terhadap penghitungan subsidi oleh Pertamina selaku pengemban PSO sebesar Rp 18,306 triliun. Pertamina mematok harga diatas yang sudah ditetapkan dalam APBN. ”Koreksi BPK terutama karena Pertamina menggunakan patokan harga yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News