Reporter: Umi Kulsum | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyatakan kepada publik pengenaan urun biaya yang tertuang dalam Permenkes 51/2018 belum berlaku hingga saat ini meski telah diundangkan sejak 17 Desember 2018. Pasalnya, jenis pelayanan yang akan dikenakan urunan belum ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Muhammad Arief mengatakan, saat ini pembahasan mengenai jenis layanan yang berpotensi disalahgunakan masih terus dikaji sembari membentuk tim yang akan turut melibatkan sejumlah pihak di antaranya Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, asosiasi fasilitas kesehatan dan pihak terkait.
Diperkirakan penyusunan daftar layanan akan rampung selama tiga pekan ke depan. Kemudian tim tersebut menyampaikan rekomendasi yang telah ditetapkan selama satu minggu.
"Artinya satu bulan. Akhir Februari harusnya sudah selesai. Setelah itu sosialisasi kepada masyarakat," kata Budi di Kantornya, Jumat (18/1).
Sekedar informasi, dalam Permenkes ini tertuang besaran urun biaya dibagi ke dalam tiga kategori pertama sebesar Rp 20.000 untuk setiap kali kunjungan rawat jalan pada rumah sakit kelas A dan B.
Kedua, sebesar Rp 10.000 untuk kunjungan rawat jalan rumah sakit kelas C,D dan klinik utama atau ketiga paling tinggi Rp 350.000 untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam jangka waktu tiga bulan.
Sedangkan untuk rawat inap, besaran urun biayanya adalah 10% dari biaya pelayanan, dihitung dari total tarif INA CBG’s setiap kali melakukan rawat inap, atau paling tinggi Rp 30 juta. Selanjutnya, BPJS Kesehatan akan membayar klaim RS dikurangi besaran urun biaya tersebut.
Urun biaya dibayarkan oleh peserta kepada fasilitas kesehatan setelah pelayanan kesehatan diberikan. “Ketentuan urun biaya ini tidak berlaku bagi peserta JKN-KIS dari segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah,” tegas Budi.
Sementara, pengenaan selisih biaya untuk setiap kenaikan kelas Budi menyebut sudah diberlakukan sejak diundangkan. Peningkatan kelas perawatan tersebut hanya dapat dilakukan satu tingkat lebih tinggi dari kelas yang menjadi hak kelas peserta. Pembayaran selisih biayanya dapat dilakukan secara mandiri oleh peserta, pemberi kerja atau melalui asuransi kesehatan tambahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News